Mati Konyol (cerpen)
pixabay.com |
"Den, Si Ibu marah. Katanya nggak boleh bawa temen ke sini," Belum juga aku naik tangga menuju lantai dua, lantai di mana kamar kosku terletak di deret kamar lantai tersebut, Agus sudah memotong langkahku. Dengan gayanya yang feminim, penjaga kos kami ini, menyampaikan pesan majikannya yang kurang enak didengar.
"Kang Agus, Si Ibu gitu amat, sih! Temen saya kan cuma sesekali mampir. Nggak pernah nginep, juga! Masih aja diomelin!" protesku sama Agus.
"Iya, Den, kan tetep pake listrik sama air," kilahnya dengan tatapan penuh kelembutan dan kasih sayang yang membuatku merinding.
Eh iya, loh! Ini kosan yang aneh. Apa cuma buatku? Entahlah. Tapi, sejak pertama datang aku memang sudah nggak nyaman dengan keadaan di sini. Hanya alasan dekat kerjaan yang membuatku bertahan.
Ibu kosnya udah tua, jarang keluar, tapi paling semangat giliran nagih bayaran. Belum juga masuk awal bulan, biasanya satu atau dua hari sebelumnya, pasti ada secarik kertas nyelip di pintu kamar para penghuni kosan. Entah kapan diselipinnya, ibu kos, anak-anaknya, atau pembantunya yang kemayu tadi, memang bisa leluasa mengamati kondisi kosan 1 x 24 jam. Rumah yang mereka tempati berdampingan dengan kosan kami. Tagihannya ditulis tangan; tebal tipis khas tulisan orang dulu. Membacanya mengingatkanku pada pelajaran menulis halus di buku garis tiga jamanku SD. Klasik dan berkelas. Maklum, konon dia keturunan ningrat.
Setiap tanggal satu, dia akan bersolek tebal, duduk manis di ruang tamu, mengenakan kebaya disanding kain antik bercorak batik sebagai bawahannya; tekun benar ibu kosku ini menunggu para penyewa kos setor uang bulanan. Sedang anak-anaknya, mereka jutek. Nggak ada ramah-ramahnya. Gaya mereka menampakan bagaimana payahnya perjuangan hidup dimanja sejak brojol yang nggak ada berat-beratnya.
Lanjut ke pembantu semata "bebegig"-nya yang bernama Agus; dia lebih geje lagi. Si Agus ini wujudnya cowok tanpa ada imut-imutnya; item, kurus, dengan rambut ikal yang terlihat kumal, tapi polahnya malah lebih mirip ke perempuan. Ngakunya sih udah punya anak dan istri, tapi gerak-geriknya sangat patut dicurigai. Suatu sore sempat dia menyelinap masuk ke kamar kosku. Kala itu aku baru pulang dan belum sempat menutup pintu kamar.
Entah curhat, ngomel, atau apalah, dia terus saja berceloteh perihal kerjaannya yang seabreg di rumah bosnya, tentang warna-warni teman-teman seprofesinya, juga soal kuli pijat yang menjadi sampingannya. Aku yang tadinya hendak beristirahat, malah melek tak berani memejam mata meski sekejap.
Bukan hendak menghargai tuh dakocan, sebenarnya! Lebih ke khawatir makhluk jadi-jadian itu bakal macem-macem kalo aku tertidur. Terlebih saat dengan polosnya dia menutup pintu kamarku. "Tutup aja ya, Den! Takut Si Ibu nyari. Cape, Agus mau ngaso dulu bentar." Pintu pun ditutupnya. Dia nawarin buat dikunci, malah! Gila! Sontak saja aku bangun dan melarangnya. "Buka saja sedikit, Kang! Pengap," sanggahku sambil meraih ujung daun pintu.
"Den, kerjanya sering sampe malem, ya? Pasti cape. Kalo mau dipijitin bilang aja. Nanti Agus pijitin," lanjutnya manja. Ya Allah! Amit-amit, dah! Iiih....
Terakhir, tentang tetangga-tetangga kosku. Ini dia yang paling membuatku nggak betah tinggal di sini. Aroma kumpul kebonya begitu kentara, pekat di indera penciumanku yang berasa tanpa dosa di hadapan mereka. Dan itu dipraktekan secara terang-terangan meski tanpa pintu dibuka. Apa itu cuma dugaan diriku yang polos dan culun, di mana setiap aku menaruh curiga, selalu saja kau peringatiku dengan bilang, "jangan punya pikiran kotor"? Pling dos, Ojan! Cowo sama cewe ngabisin waktu di kamar tertutup sampai berjam-jam, kadang bermalam malah, itu ngapain aja, coba? Bikin PR? Apa main ular tangga? Tuh tangga belum nemu rumah, ular udah keluyuran kali, ah!
Ok, soal fenomena kumpul kebo, seks bebas, seks pra nikah, sampai seks for sale sekalian, saat ini sudah tak lagi menjadi kabar yang menggemparkan, tapi tetap saja... buatku yang tak pernah menjumpai hal-hal semacam itu dekat dengan keseharian, semua terasa aneh, kotor, menjijikan, sekaligus menyiksa batin karena nggak kebagian. Eh! Astagfirullah.... Aku hanya jadi sering kepikiran, ikut dosakah aku yang tak mampu, atau bahkan tak pernah berusaha untuk mampu, mengingatkan mereka atas maksiat yang mereka buat?
Biar jelas, aku deskripsikan saja bagaimana keadaan kos-kosanku ini dalam persfektif kehidupan bebas yang para oknum penghuni, atau mungkin juga kamu, idamkan. Dua kamar diisi pasangan full day. Entah apa status mereka, aku tak yakin. Pasangan pertama ngakunya sudah nikah. Tapi kesehariannya tertutup dan tak pernah terlihat ada teman apalagi keluarga mereka yang berkunjung. Aku tak pernah menemukan bukti untuk mendukung pernyataannya tersebut. Sialnya, mereka berkamar persis di samping kanan kamar kosku.
Satu pasangan full day lain malah lebih nggak jelas. Pergi bareng, pulang bareng, tidur bareng, tapi nggak pernah mendeklarasikan sebagai satu pasangan. Tapi, ngapain juga harus dideklarasikan kalo malah bikin mereka nggak aman kan, ya? Keduanya berprofesi sebagai medical representatif. Obat apa yang mereka pasok, aku tak tahu dan tak tertarik untuk tahu. Biarlah aku buta tentang segala urusan mereka, termasuk apa saja yang mereka berdua lakukan di kamar paling pojok yang hampir tak pernah kulihat pintunya terbuka itu. Nggak tahu kan nggak dosa. Iya, toh? Lagian, keyakinan mereka juga berbeda dengan keyakinanku. Percuma.
Ok, angaplah persoalan tinggal barengnya kedua pasangan barusan berada di luar kewajiban dan kewenanganku tuk lebih greget mengorek karena status mereka yang mungkin saja sah. Namun, selain dua pasangan full day tadi, ada juga pasangan versi half day yang menghuni kamar di posisi sebelum kamar pojok tadi, atau selang satu kamar sebelah kiri dari kamar kosku.
Satu makhluk dari pasangan ini nggak setiap hari menginap di kamar kos tersebut. Itulah kenapa aku sebut mereka pasangan half day. Denger-denger sih, mereka masih anak kuliahan. Yang resmi ngekos di sini adalah perempuannya, tapi lakinya hampir setiap hari hadir--meski tak selalu bermalam. Ya, half day itu tadi! Kalo nggak siang sampe sore, ya malem sampe pagi. Gimana jadwal kuliah luar kelas mereka aja kali, ya?
Ok, durasi pasangan terakhir ini berduaan di kamar memang tak lebih lama dengan kedua pasangan full day tadi. Tapi anehnya, justru sama pasangan inilah, saya merasa begitu marah dan kecewanya. Kenapa, ya? Kan mereka nggak pernah minta dirondain biar nggak digerebeg warga? Mereka nggak pernah nitip jemuran, apalagi minta buat dibeliin makan? Jangan-jangan aku yang ngiri dan punya keinginan meniru gaya Si Half Day ini lagi? Semoga saja tidak! Ini lebih karena mereka masih bau kencur dan nggak punya sedikit pun celah tuk menyisip pemakluman ke dalam benakku, seperti dua pasangan sebelumnya. Meski belum pasti, dua pasangan sebelumnya masih mungkin punya legalisasi resmi. Ya, itu alasannya.
"Kang Agus, soal temen saya aja direcokin! Tuh, anak mahasiswi yang cowoknya suka nginep kok nggak diapa-apain?" Kesal, akhirnya aku mengungkapkan ketidakadilan dan perlakuan pilih kasih ibu kos kami.
"Yang mana, Den?" tanya Agus berlaga pilon.
"Ah, suka pura-pura! Itu, sebelahnya kamar Bakti," jawabku sedikit emosi.
"Oh, dia bayar dobel, Den."
"Sial!" dengusku dalam hati.
Pantas saja mereka tentram-tentram saja. Keluar masuk malam, bahkan dini hari, seenak udelnya saja. Tak pernah kulihat Si Agus ngasih ceramah jangan pulang terlalu larut sebagaimana yang dia sabdakan padaku sebelum aku jelaskan bahwa sistem kerja di kantorku adalah shifting.
Aku tinggalkan Agus yang masih mematung di samping tangga. Mungkin, dia mengira aku masih mau melanjutkan ke aktivitas meng-ghibah soal para penghuni sebelah. Ogah! Mending aku langsung masuk kamar, kunci, dan tidur, dah! Jarang-jarang bisa pulang sore, rugi kalo cuma dihabisin sama ngobrol bareng Si Tulang Lunak yang kurang perawatan ini. Soal pesan ibu kos yang disampaikan Agus, biar besok lusa saja aku jelasin langsung sama orangnya. Sekalian bayar kos dan protes atas segala ketidakadilan yang aku terima, termasuk kelakuan bebas para oknum penguni lain yang lama-lama bisa bikin aku gila; atau bisa-bisa, aku malah ikut gaya hidup mereka, lagi? Astagfirullahaladzim!
Ibu kos terlihat sumringah saat melihatku menghampirinya meski aku tahu matanya udah rabun nggak ketulungan. Kaca mata progresif berframe tebal modis yang dia kenakan sepertinya sangat sensitif mendeteksi setiap pergerakan para pembawa gaji bulanan buat majikannya. "Duduk, Nak!" sambutnya ramah.
Biasanya aku tak menyempatkan diri duduk di kursi kayu ukir bergaya feodal yang tampak kokoh dan berusia tua itu. Setiap kali masuk ke ruang tamu rumah ibu kos buat bayar sewa bulanan, aku cuma serahkan uang dan mengambil kwitansi yang telah dia siapkan. Tapi kali ini, karena ada keluh kesah yang hendak aku sampaikan, aku menyamankan diri untuk duduk di sana dengan segala perasaan kikuk berhadapan dengan wanita tua ber-make up heboh mirip cabe-cabean yang lagi nunggu omprengan ini.
Setelah transaksi pembayaran selesai, aku mencoba membuka percakapan lain di luar urusan bayar kosan. "Bu, maaf ya kalo sesekali ada temen saya yang mampir. Tapi nggak pernah lama, kok!" ujarku bermukhadimah segera setelah ada sedikit jeda.
Wajahnya tiba-tiba berubah dingin sejak aku menyelesaikan kalimat terakhir tadi. Senyumnya yang seolah ditahan seketika, berhasil menyulut kegugupan di sekujur ragaku.
Ajaib, dong! Sekejap dia kembali tersenyum untuk kemudian bilang, "Oh... nggak apa-apa, Nak! Jangan lama-lama aja, apalagi sambil numpang tidur dan mandi! Ntar, Ibu nombok bayar listrik sama air, dong!" Ah, nggak seseram yang Si Agus sampaikan, ternyata!
Mendapati ibu kos sedikit santai, aku pun menyela, mencoba studi kasus dengan fenomena lain yang terjadi di kosan, "Maaf Bu, cuma mau tanya, kalo yang mahasiswi itu gimana, ya? Temen cowoknya sering dateng juga tuh. Nginep malah!"
"Maksud, Adek?" Lah, dia cemberut lagi. Sudah kayak bohlam konslet saja ibu kosku ini! Kali ini, omongan Si Agus soal dua cecurut itu bayar dobel buat kamar yang mereka tempati bisa jadi memang benar adanya. Baiklah, tanggung ngomong, aku lanjut ke masalah utamanya saja! Lagian, aku lebih risih dengan perilaku bebas mereka daripada urusan pilih kasihnya ibu kos perkara izin kunjungan teman.
"Ya, itu. Kok bebas banget ya, Bu? Berduaan di kamar bahkan sampai nginep segala. Soal status mereka sendiri gimana ya, Bu?" ujarku berharap ibu kos peduli dengan hal-hal yang dilarang agama.
Membuatku kaget, sontak ibu kos memasang tatapan tajam ke arahku, dan dengan ketus dia kemudian berseloroh, "Maaf ya, Ibu mah nggak suka campuri urusan orang!" Intonasi tegasnya mengatakan dia tak suka dengan omonganku sekaligus mengesankan bahwa di matanya aku ini adalah orang terusil yang pernah dia temui di dunia ini.
"Astagfirullahaladzim..." Aku hanya bisa mengelus dada mendengar respon yang diberikan oleh ibu kos tadi. Dia nyata-nyata tak peduli dengan apa yang mungkin dilakukan para penghuni di dalam kamar kosnya masing-masing. Ah, ibu kos macam apa ini? Mata duitan tanpa punya tanggung jawab sama sekali.
Dengan perasaan marah, terintimidasi, sekaligus sedih, aku memutuskan balik kanan. Tak ada guna mengadu pada orang yang pemikirannya bertolak belakang dengan apa yang aku pegang.
Aku harus mengambil tindakan. Langkah audiensi nyata-nyata hasilnya nihil. Berkaca pada strategi perlawanan yang kucermati semasa jadi mahasiswa dulu--ya... meski paling banter, waktu itu aku hanya kebagian memegangi karton yang tulisannya pun tak benar-benar bisa kupahami--aksi nyata harus diambil jika solusi dialog berakhir buntu.
Jadi, lapor RT apa gerebeg langsung, ya? Merenung, aku menimbang langkah yang harus kulakukan demi menyelamatkan dunia ini dari segala penyimpangan perilaku yang dilakoni oleh para oknum penghuni kos di sini.
Kok lebay, ya? Lah iya, toh! Aku juga harus mikirin nasib orang-orang "innocence" semisal Bakti. Apa mau dikata sama orang tuanya di cicalengka sana jika anaknya malah ketularan virus "wik-wik" dari para tetangga kosnya? Belum lagi dengan satu--dua penghuni kos di lantai bawah yang kulihat masih pake seragam OJT mini market di seberang jalan sana. Kerja aja mereka masih pake label training! Syok pastinya, jika mereka tahu di lantai dua kosnya ada yang udah pada pakar soal "gituan". Mereka minta pindah tempat training, kan kacau, ya?
Tapi, untuk mengambil tindakan berani, mutlak, aku harus mengumpulkan kekuatan lebih. Belajar dari kegagalan menempuh jalur persusif, cara refresif tentu bakal butuh tenaga lebih. Kemungkinan perlawanan, pembelaan dari penghuni lain yang merasa terusik, pun sikap apatis yang ditujukan pemilik kos, menjadi tantangan yang harus aku perhitungkan.
Bakti! Yup, paling cuma dia yang mungkin bisa kuajak serta dalam aksi lanjutanku ini. Meski tampangnya lugu-lugu orang kampung gimana... gitu, dalam posisi saat ini, aku tak punya pilihan lain. Bakti-lah satu-satunya harapan yang kumiliki untuk bisa melancarkan misi maha penting ini.
Sebagai penghuni yang baru tinggal di tiga bulan terakhir ini, aku belum berkesempatan untuk mengenal penghuni lain. Terutama orang-orang yang ngekos di lantai bawah. Jadwal kerjaku yang sering masuk malam, otomatis mengurangi peluangku bersosialisasi dengan yang lain. Sedang di kalanya aku libur, para tetanggaku yang sudah kerja malah lagi pada sibuk di kantornya masing-masing; kecuali Si Mahasiswi dengan pasangan half day-nya tadi.
Ya sudah, jika giliranku libur tadi bertepatan dengan jadwal kuliah luar kelasnya tuh pasangan half day, tinggalah diriku seorang diri yang harus rela menjadi peredam suara dari riuhnya mereka berdua yang sedang "kerja kelompok". Riuh, karena aktivitas kamar mereka selalu dibarengi hentakan musik K-Pop yang meriah plus suara-suara nggak penting lainnya. Kebayang kan, bagaimana aku harus menahan gejolak godaan yang tak terperi ini? Kacau!
Kondisinya mirip seperti ini. Hari ini aku memang off karena baru menyelesaikan shift malam dua hari berturut-turut. Bedanya, kali ini semua kamar terdengar sepi. Dalam lamun, bahkan sempat aku bersorak, "Syukurlah, aku bisa beristirahat dengan tenang. Eh, duh paralun! Tidur siang tanpa gangguan, maksunya."
Kututup pintu, matikan tv, dan mengambil satu buku memoar dari seorang penulis favoritku--buku setebal 300 halaman lebih yang tak kunjung selesai kubaca. Bukan! Bukan tidak menarik. Semenjak aku kerja di tempat baru ini, membaca buku tak ubahnya seperti minum obat tidur. Otakku yang senantiasa lelah karena keseringan dibawa begadang, kian mudah mengantuk setiap kali dibawa membaca. Baru baca satu--dua halaman, biasanya jiwaku sudah hijrah ke lain alam.
Kelopak mataku hampir mengatup saat tiba-tiba jejak kaki terdengar menaiki tangga. "Oh, tidak! Apa anak itu bagian kuliah luar kelas lagi?" heranku disusul sesal mendapati hal itu harus terjadi lagi. Benar saja, bayang perempuan itu terlihat melintas di gorden jendela kamarku. "Lah, kok cuma sendiri? Lakinya mana?" Berlanjut, mendapati Si Perempuan hanya pulang sendiri, heranku jadi bertambah.
Ah, biarlah. Kabar baiknya, berarti tak ada aktivitas nyleneh di kamar kos mahasiswi itu siang hari ini. Tak akan ada juga alunan "let's kill this love" atau "dududu"-nya blackpink yang disetel bising dari dalam sana. Entah itu sengaja dibikin soundtrack atau diniat buat kamuflase, tetap saja, nada sela yang muncul sesekali di tengah lagu, pasti mendorong siapapun untuk berasumsi tentang apa yang di dalam kamar sana terjadi. Konyol!
"Wis nasibe kudu koyo ngene
Nduwe bojo kok ra tau ngapenake..."
"Lah! Apaan, nih?" Diriku terkaget saat tiba-tiba lagu koplo menyeruak sampai di telingaku. Tak habis pikir aku termenung sambil meyakinkan apa yang aku dengar.
Tak salah, alunan suara Via Vallen berasal dari kamar yang penghuninya baru saja lewat. Ini aneh dan bikin penasaran. Apa bocah itu ganti selera? Ngapain juga muter lagu keras-keras kalo cowoknya nggak ada? Seingatku, jika anak mahasiswi itu sedang sendiri, tak pernah dia memasang musik sekeras ini. Melihat dia datang sendiri, padahal aku sudah senang dia pulang tanpa bakal ngapa-ngapain. Eh, ini malah bikin bising! Apa emang cowoknya udah ada di kamar sejak malam? Aku tertipu, jika iya.
Memberi sedikit jeda, aku masih berharap kebisingan itu akan mereda. Tapi, ternyata tidak. Ya ampun, mana bisa aku tidur siang kalo begini caranya. Kusibak selimut dengan marah yang mulai naik ke ubun-ubun. Sepertinya dia tak tahu ada orang kurang tidur yang sakau rebahan. Kubuka pintu kamar dengan niat meminta anak mahasiswi itu mematikan musik yang tengah diputarnya. Ngadepin anak cewek, apa takutnya, kan? Jika pun ternyata ada cowoknya, itu lebih bagus. Aku bisa sekalian memergoki kerjaan mereka yang nggak bener dan langsung melapor ke Pak RT dengan membawa bukti yang shahih. Kamera di gawaiku siap digunakan untuk mengunci bukti tersebut.
Namun, baru tiga langkah dari pintu kamarku, aku terkejut melihat pintu kamar Bakti yang terbuka. Aku segera melongok ke arah dalam kamar Bakti dan mendapati kamarnya yang berantakan. Pikirku pun jadi bercabang, niat melabrak kamar sebelah Bakti tertunda karena cemas ada yang hilang dari kamar yang orangnya tengah berada di tempat kerja tersebut.
Segera kuraih gawai di saku celana, dan menghubungi nomornya Bakti. Tersambung, tapi... nada dering ponsel Bakti terdengar dari dalam kamar Si Mahasiswi, dong! Lain suara, di sela lagu bojo galak, meski samar, kudengar orang berselisih dengan terkesan panik, "Lah, kenapa diaktifin?", "Lupa!", "Payah! Matiin hpnya!", "Mana?", "Di balik baju."
Lah!? Situasi mulai membuatku bingung. Jam segini, Bakti harusnya lagi kerja. Anak rajin macam dia nggak mungkin bolos tanpa sakit atau urusan penting semisal ibunya di kampung ada syukuran. Siapa yang lagi bareng cewek bau kencur ini, ya? Ah, rupanya iya, cowoknya udah ada di kamar dari kemarin malam. Apa dia ngambil hape Bakti juga? "Kurang ajar!" sungutku diikuti gemeratak gigi menahan marah. Dengan sigap aku sudah berada di depan pintu pasangan terduga mesum tersebut. Kugedor sambil teriak, "Buka! Keluar, woi! Udah mesum, maling juga kalian ternyata. Buka! Buka!"
Tak ada jawaban apapun dari dalam. "Gini aja, kalian keluar kita bicarakan baik-baik," bujukku berharap mereka mau keluar.
Masih tak ada jawaban, lagu koplo masih juga diputar di dalam sana. "Ya udah. Saya telpon Pa RT! Eh, polisi sekalian! Tanggung kapok kalian." Aku lupa, mana punya aku nomor Pak RT. Namanya saja aku tak tahu. Kalo polisi, kan tinggal pake nomor darurat.
Mulai terdengar orang berbisik dari dalam kamar, tapi tak begitu jelas.
"Terakhir! Aku panggil polisi, nih!" gertakku.
"Jangan! Kami keluar kalo Abang janji mau damai." Si Cewek mulai mau bicara.
"Ok, damai. Kita bicarakan baik-baik!" jawabku pura-pura setuju. Enak aja, mana bisa aku membiarkan kemaksiatan macam ini berlanjut. Ngaco!
Kembali terdengar orang berselisih di dalam sana, "Nggak mungkin dia mau damai.", "Tadi kan dia bilang gitu.", "Aku nggak percaya! Baju, mana baju?", "Tak ada pilihan lain, kalo polisi gerebek gimana?", "Nggak bakal mau polisi urus soal gini.", "Bisa aja!", "Ini bukan kejahatan, orang ini aja yang...." Terlalu lama mereka berdiskusi, malah membuat aku yang di luar ini naik pitam. "Hei, keluar nggk kalian!?" bentakku sambil meraih gagang pintu kamar mereka.
"Jklek...jklek... byar!" Aku cuma bisa tercengang. Ternyata pintunya tidak terkunci. Mungkin mereka merasa aman karena menyangka tak ada orang lain di kosan. Tapi yang paling membuatku kaget sekaget-kagetnya, kok malah Bakti yang kudapati tengah berdua dengan Si Bocah Mahasiswi? Bakti yang cuma mengenakan daleman dengan kaos yang masih nyangkut di tangan sebelah kanannya pun terlihat pucat. Si Cewek terduduk sambil membungkus diri dengan selimut.
"Bakti? Ah, sial! Parah kamu!" Aku bingung harus ngomong apa atas kenyataan yang tak pernah sedikit pun terbersit akan seperti ini jadinya.
"Ampun, Kang! Tong seueur carios!" Bakti memelas.
"Eweuh! Keluar, aku akan telfon ibu kamu," ancamku yang tak menggubris ratapan Bakti. Segera kucari nomor hape ibunya Bakti. Agak lama, aku tak yakin juga pernah menyimpan nomor milik ibu dari teman kosku ini.
"Jangan, Kang! Jangan..."
Terus merengek, aku bergeming tak peduli sampai tersadar ada sebuah benda menancap di dada kiriku. "Kamu..?." Aku tak mampu melanjutkan umpatan atas apa yang Bakti perbuat dengan pisau dapur yang tak kukira akan berani dia tusukan kepadaku. Sakit di dada segera menjalarkan kaku ke sekujur tubuhku. Rupanya, benda tajam itu tepat memutus aliran darah di vena jantungku. Gawai yang kupegang terjatuh diikuti rubuhnya ragaku. Kulihat Bakti merangsek mundur. "Ayo pake baju!" ujarnya santai.
Hampir hilang sadarku, aku masih tahu Si Agus datang tergesa dari lantai bawah. Syukurlah!
"Aduuuh! Kenapa ini?"
"Diam! Jangan ribut, Kang Agus!" cegah Bakti.
"Tapi ini gimana, Den? Polisi, polisi datang bagaimana, ih...?"
"Dia begal, aku cuma bela diri! Gitu aja! Jangan bilang yang lain! Nih, dua ratus ribu! Ntar ditambah."
"Ya udah, Agus ke bawah dulu beresin cucian, Den!"
Ya Allah.... Fix! Aku mati konyol.
Papi Badar, 08022010
Waduhh, suka pipilueun tuda ...
BalasHapusIya... Kepop pisan! Haha...
HapusLama ya, buka pintunya, Bakti yang alim ternyata
BalasHapusIya.... Salah nebak temen, Bu Ester π
HapusOwow!
BalasHapusItu lagu Endang S Taulani ya, Mbak Nia... Mungkin semua... Owow...heheπ
Hapusoh endingnya makjleb di dada
BalasHapusIya, Mas Dalle. Biar cepet beres. Pegel ngetik di hp π
Hapus"Agen poker terbesar dan terpercaya ARENADOMINO.
BalasHapusminimal depo dan wd cuma 20 ribu
dengan 1 userid sudah bisa bermain 9 games
ayo mampir kemari ke Website Kami ya www.arenadomino.com
Wa :+855964967353
Line : arena_01
WeChat : arenadomino
Yahoo! : arenadomino"
"Selamat siang Bos π
BalasHapusMohon maaf mengganggu bos ,
apa kabar nih bos kami dari Agen365
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Silahkan di add contact kami ya bos :)
Line : agen365
WA : +85587781483
Wechat : agen365
terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus