Kolom Santri, Inilah Koran 09122016



Antara Perkataan dan Perbuatan
Oleh: Andris Susanto

Pagi itu, kamis 01 Desember 2016, sepeda motorku yang melaju di Jalan Soekarno-Hatta dipaksa melambat selepas melewati kantor dinas sebuah kementrian di kawasan gede bage. Sedikit kesal mendapati hambatan di perjalananku menuju kantor, hampir saja aku menggerutu sambil terus mengikuti mobil depan yang juga jalan perlahan. Namun, segera perasaan kesal itu hilang. Ada damai dan syahdu yang kurasakan sampai mendorong air mata ini meleleh saat melewati rombongan pejalan kaki yang tak henti melantunkan shalawat dan takbir.

Ternyata, kafilah ciamis yang beritanya sampai mendunia itu berada tepat di sampingku. Nyata, bukan hanya beritanya. Aura yang menyejukan dipadu ghirah yang menggetarkan turut aku rasakan. Ingin rasanya, saya hentikan laju motor, menyalami, memeluk, dan ikut serta dalam perjalanan mereka. Namun, air mata yang kuteteskan adalah jawaban atas keterbatasan diri yang masih memiliki kewajiban lain untuk dijalani.

Saudaraku, inilah salah satu bukti dari kekuatan perbuatan yang berteriak lebih lantang dari perkataan. Perbuatan yang didasari dari panggilan hati tanpa iming-iming ataupun amang-amang. Dan pada saatnya, inilah perbuatan yang tanpa harus banyak instruksi telah mampu menggetarkan banyak hati untuk turut bergerak atau paling tidak berpikir ulang untuk tidak mendukung gerakan aksi super damai 212.

Lantas, apakah keutamaan sikap atau amal harus selalu dalam bentuk perbuatan?

Berkenaan dengan keutamaan amal, sebuah hadist menjelaskan, dari Abu Sa’id Al-Khudrirodhiallohu’anhu, dia berkata: Aku mendengar Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Benar, sesuai tingkat keimanan, dalam hadist tersebut memang dijelaskan seperti apa klasifikasi keutamaan sikap kita dalam menegakan ajaran islam. Perbuatan adalah yang paling utama, lisan yang ke dua, dan hati merupakan usaha minimalnya. Namun, tuntunan hadist tersebut mengacu pada fitrah diri manusia. Dimana tingkat kekuatan ada pada apa yang bisa kita katakan dan perbuat.

Menariknya, dalam situasi tertentu, adakalanya bicara sudah cukup tanpa harus berbuat atau bisa jadi diam lebih baik dari keduanya. Sangat situasional. Dalam hal ini, secara lengkap, Nabiullah Muhammad Saw, telah mencontohkan setiap sikap yang seharusnya diambil saat kita menghadapi situasi tertentu. 

Beliau menahan diri untuk tidak melawan saat dilempari di thaif, membiarkan seorang badui menyelesaikan hajatnya kalaupun tahu mesjid adalah tempat yang harus suci dari segala najis, dan dengan indah beliau mengajarkan kita untuk diam jika bukan perkataan baik yang hendak dilontarkan. Intinya, kita diajarkan untuk bersikap dan bertindak secara tepat dan proporsional.
 
Jadi, antara perbuatan dan perkataan sejatinya memiliki kekuatan tersendiri yang tidak bisa dikategorikan lebih utama antara satu dan yang lainnya. Semuanya memiliki porsi khusus dalam situasi tertentu. Oleh karena itu menjaga dan memfilter apa yang harus diperbuat dan diucapkan adalah keharusan bagi kita semua.

Sekilas, mungkin uraian di atas seperti tidak memiliki sinkronisasi. Sama sekali tidak, kaitannya jelas ada. Perbuatan memang memiliki kekuatan lebih dari sekedar perkataan. Perbuatan adalah wujud komunikasi non verbal yang terbukti lebih efektif dalam menyampaikan pesan dan informasi kepada audiens. Namun, guna distribusi pesan atau informasi yang lebih luas, perkataan, baik itu bentuk ujaran maupun tulisan dibutuhkan karena radius jangkauannya yang bisa lebih luas.

Maknanya, ketika apa yang kita ujarkan telah sesuai dengan apa yang kita perbuat. Pesan yang hendak kita sampaikan akan lebih mudah diterima.

Berkaca pada efek yang timbul dari Aksi Super Damai beberapa hari lalu, sudah saatnya setiap kita melanjutkannya dengan aksi serupa. Aksi yang tidak hanya mengedepankan ucapan melainkan perbuatan yang baik. Tidak harus selalu dengan perbuatan besar. Cukup memulai dengan perbuatan-perbuatan sederhana yang agama kita ajarkan. Khususnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, seperti: jujur, saling menghargai, gemar menolong, bersikap adil, dan menahan diri.

Dengan demikian, kita berharap, citra islam semakin baik dan jauh dari stigma negatif. Karena apa? Karena citra itu dibentuk bukan dipropaganda!

Wallahualam.

Penulis adalah Seorang Pembelajar dan Bekerja di Salah Satu Bank Syariah

*Tulisan merupakan teks asli (sebelum proses edit) dari artikel yang dimuat di Kolom Santri Inilah Koran, Jum'at 09-12-2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya