Capernaum, Gambaran Kehidupan Anak-Anak yang Memilukan dan Menyesakkan Dada


Gambar: en.wikipedia.org

"Ada yang ingin kau katakan?", tanya hakim kepada Zain.
"Saya kecewa pada orang tua saya," jawabnya dengan tenang.
"Kecewa kenapa?"
"Karena melahirkan saya."

Bagi saya pribadi, potongan percakapan di awal film Capernaum di atas sudah cukup menyesakan dada. Apa yang membuat seorang anak sampai dia menyesalkan kedua orang tuanya karena telah melahirkannya?

Zain al Hajj adalah anak berusia sekitar 12 tahun yang harus mendekam di penjara Roumieh, Beirut, karena dakwaan penusukan. Persidangan yang ditampilkan di awal film itu sendiri adalah persidangan lain di mana di sidang tersebut justru giliran Zain yang menuntut orang tuanya.

Hidup di salah satu sudut rumah susun seadanya, Zain dikisahkan hidup berdesakan dengan kedua orang tua dan kelima adik-adiknya. Zain sebenarnya bukan anak pertama, dia memiliki kakak yang diceritakan ada di penjara. Karenanya, anak berperawakan kurus itu harus berusaha menyambung hidup dengan bekerja di sebuah toko kelontongan dan berjualan salad di waktu lainnya.

Kesehariannya hanya dihabiskan oleh aktivitas pemenuhan kebutuhan keluarga dan tanggung jawab menjaga adik-adiknya.

Bagi Zain, bersekolah, bermain, atau sesekali menonton tv hanyalah impian yang hampir mustahil untuk diwujudkan.

Meski memilukan, dengan segala keterbatasannya, kehidupan Zain sebenarnya masih baik-baik saja. Sampai kemudian, dilatari perselisihan dengan orang tuanya, Zain pun pergi meninggalkan rumah. Lepas dari tugas mengurusi adik-adiknya, di tempat baru, dia malah mendapat beban lain yang tak kalah berat dan membuat kita harus mengelus dada.

Tema film yang disutradarai oleh Nadine Labaki ini mengeksplor bagaimana kerasnya kehidupan anak-anak di ibu kota Lebanon yang padat; dengan mengangkat latar kemiskinan, keterlantaran, dan ketidakadilan, bagi mereka. Kerja keras Labaki untuk menyampaikan pesan tadi pun sukses dengan raihan penghargaan berupa nominasi Oscar dan standing ovation selama 15 menit pada Festival Film Cannes 2018.

Inspirasi Labaki untuk Capernaum berawal dari apa yang dia lihat di jalanan-jalanan Beirut yang carut-marut dengan banyaknya anak-anak yang harus berjuang di siang dan malam hari. Mereka harus bekerja menyeret tabung-tabung gas, menjual permen karet, salad, atau bahkan mengemis demi misi menyambung hidup. Krisis pengungsi syuriah pun disinyalir sebagai faktor utama untuk kondisi tersebut.

Capernaum yang dalam bahasa perancis berarti kekacauan, memang tidak mengangkat isu tentang pengungsi dengan segala permasalahnya yang menempatkan anak-anak sebagai pihak yang rentan untuk menjadi korban sebagai latar utamanya. Namun yang pasti, film ini seolah menegaskan bahwa di belahan bumi lain, bermain, bersekolah, atau peluk cium ayah ibu seolah tak lagi menjadi haknya seorang anak.

Dasar konflik yang diangkat di film ini relatif global; terkait segala hiruk-pikuk kehidupan kaum urban maupun imigran yang cukup membuat kita berderai air mata.

Kerennya, meski dikemas dengan sederhana, Capernaum bisa menghadirkan kesan nyata pada setiap potongannya. Film yang mengambil kisah dari perspektif Zain, seorang anak yang harus ikut berjuang menghidupi dirinya sendiri dan kelima adik-adiknya tadi, mampu diperankan dengan begitu lugas oleh Zain Al Rafeea.

Sebagai pemeran utama, Zain berhasil hadir sebagai simbolisasi dari kelamnya kehidupan anak-anak di tengah konflik orang-orang dewasa yang seharusnya tak perlu mereka rasakan imbasnya.
Di samping lika-liku kisah Zain, rahasia lain dari begitu terasa nyatanya Capernaum terletak pada pemilihan para artis dan aktornya yang mayoritas bukan dari kalangan profesional. Kebanyakan mereka justru benar-benar pelaku asli di dunia nyata. Nilai plusnya, karena sesuai pengalaman pribadi, mereka bermain bisa begitu lepas dan natural.

Zain Al Rafeea sendiri merupakan asli pengungsi Syuriah. Pemeran Sahar, adiknya Zain, adalah gadis manis bernama Haita Izam yang direkrut saat dia sedang berjualan permen karet di jalanan Beirut.

Menyambung sinopsis di atas, setelah diceritakan pergi dari tempat tinggalnya karena kecewa kepada keputusan orang tuanya menikahkan Sahar yang masih di bawah umur, Zain kemudian bertemu dengan Rahil--seorang imigran gelap dari Eithopia yang berusaha bertahan di Beirut bersama bayinya bernama Yonas.

Yonas dan Zain. Gambar: slantmagazine.com


Tinggal di rumah bedeng yang kumuh, Rahil hidup di bawah bayang-bayang deportasi dan ketakutan akan kehilangan buah hatinya. Untungnya, kehadiran Zain yang awalnya dianggap sebagai orang asing, justru sangat membantu Rahil.

Bahkan, di saat dia harus bertahan bersama Yonas tanpa adanya Rahil, dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang, dia mampu melewati hari-hari sulit bersama Yonas meski dengan perjuangan yang berat dan memilukan.

Sebagaimana Zain, sosok Rahil sendiri diperankan oleh Yordanus Shiferaw yang memang pekerja ilegal di lebanon. Dia bahkan sempat ditahan pada saat pengambilan gambar untuk film ini. Adapun Yonas, anak Rahil tersebut diperankan oleh Boluwatife Treasure Bankole yang kemudian harus dideportasi dari Lebanon ke Kenya bersama ibunya karena tak memiliki izin tinggal.

Akhir kata, Capernaum adalah karya apik yang akan membuka mata kita bahwa hidup sungguh tak seindah sarapan yang keasinan atau jaringan yang tidak stabil; sisi kehidupan yang diangkat di film ini diyakini mampu menggugah hati kita untuk lebih bersyukur atas hidup yang kita jalani.

Saya yakin, siapa pun Anda yang bisa membaca postingan ini, Anda jauh lebih beruntung dari Rahil atau Zain dan keluarganya.

Selamat menonton! Jaga dan dampingi setiap langkah anak Anda dengan penuh dukungan dan kasih sayang.

Papi Badar, 11062019

Sumber: - Film Capernaum Produksi Mooz Films, 2018. - artikel: Capernaum: Film menyayat hati tentang anak-anak dan masa kecil, bbc.com.

#capernaum #filmreview #sinopsis #capernaumreview #sinopsiscapernaum

Komentar

  1. Sedih euy.
    Zain didakwa menusuk siapa, Kang? Rahil kemana, kenapa Zain harus mhasuh Yonas?
    Aahh... bikin kepo nih artikel. Mantap ulasannya, Kang?

    BalasHapus
  2. Keren juga film nya Mas Andris

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah sudah nonton film ini, sangat berkesan. Apalagi nontonnya dg anak, kita bisa memberikan gambaran bahwa bamyak kehidupan anak-anak di luar sana yang tidak sebaik kehidupan kita

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya