Menikahlah Secara Rasional

 


Sebelumnya, saya declar dulu tulisan ini tak berisi pesan personal ya. Terlintas saja pas nemu statement bagus pas tadi nyimak sebuah video di salah satu channel youtube.

Isinya sendiri berisi ulasan singkat tentang pesan moral dari kejadian viral mantu yang selingkuhi mertua. Ya, itu! Saya ikut mengutuk fenomena itu, tapi tak tertarik untuk membahas detailnya, ya!

Sudahlah, skip! Lanjut, statementnya sendiri kurang lebih seperti ini, “Menikahlah atau berpasanganlah secara rasional! Kenapa? Karena masyarakat kita menganggap pernikahan itu sakral tapi (diputuskan secara) emosional.”

Benarkah? Kroscek saja, list alasan orang-orang di sekitar Anda saat memutuskan untuk menikah. Tentu tak sedikit yang berangkat dari alasan cinta, obsesi, kebanggaan, kenyamanan, atau apalah yang intinya soal perasaan semata.

Mereka lupa soal betapa perasaan sangat mungkin suatu waktu berubah dan yang pasti, perasaan tak mungkin mengubah buih menjadi permadani kala kita butuh selonjoran. Mengubah atau menghadapi sebuah kondisi nyata, maksudnya.

Soal pernikahan, tentu harapan kita semua, itu bakal dilalui sampai akhir cerita kita hidup di dunia. Sedang di masa 20, 30, 40, atau bahkan 50 tahun ke depan itu, kita tak mungkin bisa mengandalkan perasaan untuk mempertahankannya. Ini bukan hanya soal cost, ya! Lebih dari itu, seseorang butuh pasangan yang bisa menangani dan ditangani saat segala tektek bengek persoalan hidup yang harus kita hadapi itu tiba-tiba muncul.

Misal, apa jadinya jika pasangan memang sangat mencintai kita, tapi dia meminta bobot kita tetap di bawah 60 kg. Atau, gimana jika dia yang kita pilih karena penyayang banget itu tak tahan kalau harus makan hanya sama telur ayam dadar saat kondisi dompet kita mengalami resesi?

Kalau fenomena di atas tadi kan parah, ya! Pasangan tak tahan lihat lahan lain kosong meski... udah mah statusnya milik orang, gersang, banyak ularnya, pinggir jurang lagi! Eh, tetep saja digarap selama dianggapnya nggak ada yang jaga dan masih bisa dicangkul. Gila!

Nah, adakah alasan di kondisi demikian untuk kita tetap bertahan karena ceritanya kita udah bucin banget? Lebih dari gila kan, kalau iya?

Lalu, apa solusi yang paling enak? Ya preventif! Jangan paksakan menikah untuk alasan emosional semata. Perhitungkan dan timbang mungkin tidaknya, baik buruk, dan atau bisa tidaknya.

Terakhir, kita pasti punya cita-cita, keinginan, atau obsesi soal pasangan. Tapi, lagi-lagi, ikhtiar terbaik untuk kita bisa menjalani hari-hari setelah masuk masa “sungguh-sungguh” berpasangan adalah hanya dengan memutuskannya secara rasional.

Jadi, jangan panik hanya karena soal usia ideal pernikahan, atau tergiur dengan munculnya bayang indah sang sosok idaman!

Semoga kamu yang sedang berusaha menemukan jodoh terbaiknya, dan yang sudah berpasangan semoga... eh, bukan semoga buat yang udah mah! Inshaallah, pasti itu sudah yang terbaik! Tinggal bersinergilah secara optimal dan yakinlah semua selalu ada jalannya.

Kecuali udah mentok, ya! Lah nasi udah jadi bubur, mau gimana lagi coba?  Mana disanguan deuih buburna teh! Hadeuuuh.... semangat!

Bandung, 01012023

*foto: Contoh perilaku tak rasional dan tak sopan. Di depan orang ngopi, dong!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya