De Drama of Beol
*maaf jika tulisan ini mengganggu kenyamanan Anda
.
Jumat malam dari jam setengah delapan lebih, Adhia--Si Bungsu--ngambek. Aku yang lagi rebahan awalnya tak peduli, tapi tangis dan rengekannya makin menjadi. Kutengok ke ruang tengah, anaknya berdiri sambil merengek, berdebat kecil dengan ibunya.
.
Pasalnya sederhana, dia mau pup dan minta dipasangkan popok. Sudah hampir satu jam, ibunya bergeming, sementara tangis Adhia pun tak menunjukan akan segera berhenti. “Ambilin popok, Papih…” ratapnya sambil sesegukan saat menyadari aku mendekat.
.
Aku tersenyum menatap Si Kecil sambil bilang, “Hayu Papi anter k kamar mandi, De!”
“Nggak mau ke kamar mandi! Mau di popok” jawabnya masih sambil nangis.
“Nggak bisa, Sayang...”
.
Negosiasi pun terus berlanjut. Ibunya berargumen; udah dibuanglah, nggak ada uang buat beli popok, bau, dst. Si Kecil juga terus ngotot; jangan dibuang, beli lagi ke warung, dan lainnya, tentu tanpa dia mau menghentikan tangisnya. Tensinya terus naik, terlebih jika kakaknya ikut nimbrung dengan gaya sok dewasa.
.
“Nggak ada popoknya!”
“Beli aja, Ibu...”
“Nggak ada uang. Kan udah dibeliin mainan,”
“Dede harus ke kamar mandi! Kan udah janji? Dede harus tepati janji!” sela Aa Badar di antara negosiasi adiknya dengan ibu.
“Nggak mau, Aa!!!” teriak Dede dengan otot rahang sedikit gemetar dan tangan mengepal kuat.
“Aa! Masuk kamar!” potong ibu meminta Si Sulung tak ikut campur.
“Ya udah, jual lagi aja mainanya,” lanjutnya kepada Dede.
“Iya. Jual aja, Bu...”
“Mmh! Udah, Dede... Ke WC aja! Dede kan baik...”
“Nggak baik!”
“Yey!”
Ibunya tak lagi minat buat nerusin diskusi.
.
Aku sebenarnya sudah kasian dan tak tega melihat Si Bungsu. Kepalanya sudah basah karena keringat, mukanya merah, dan yang paling mengganggu adalah teriakannya yang kuat. Jangankan kami, ke tetangga kiri kanan pun suaranya dijamin sampe.
.
Padahal, tuh popok masih banyak di lemari, klo ngecer juga cuma 2500 perak. Tapi bukan itu masalahnya. Memang, ada lalai kami juga sebagai orang tua plus karakter Si Anak yang berbeda dengan kakaknya. Adhia telat toilet training, dia sudah tiga tahun lebih dan masih nyaman pup di popok. Beda sama kakaknya yang melewati fase perkembangan dengan serba tepat waktu bahkan lebih cepat dari umumnya anak.
.
Sampai jam 21:00 situasi tak kunjung berubah. Aku sedikit mengalihkan konsen dengan memasak mie meski jika terlihat Adhia minta perhatian, aku menyempatkan mengalih fokus, menatapnya, dan memberikan argumen dengan lebih santai dari ibunya. Tapi prinsipnya sama. Kita sepakat, no more popok!
.
Tangis Adhia sedikit mereda, kutawari baso yang kurebus bareng sama mie tadi, dia mau dan memakannya dengan lahap. Kami makan bareng sambil sesekali dia tertawa karena aku bercandain. Anak aneh.... Apa dia berhasil pup? Nggk juga! Sampai dia tidur pun dia masih minta popok dan kami tak berpikir untuk berubah pikiran.
.
Keesokannya, anak itu istiqamah meminta popok. Hasrat untuk “beol” dari semalam tentu semakin kuat meski tetap berusaha dia tahan. Dalam hati, aku mulai berpikir soal batas akhir gencatan senjata jika dia bersikeras menahan itu kotoran di perut sebelum kehendaknya dikabulkan. Berapa lama waktu amannya, ya? Bismillah, aku percayakan pada pilihan sikap istri yang masih terlihat santai.
.
Sabtu pagi diusahakan berjalan sebagaimana biasa saja. Anak-anak minta jalan-jalan. Bukan agenda wah, sih! Biasanya kami hanya muter-muter di lingkungan sekitar. Bisa pake motor atau berjalan kaki rame-rame. Yang penting kan, jalan-jalan!
.
“Aku mau kentang sosis!” kata Si Sulung.
“Dede juga!” sambut adiknya semangat.
“Boleh,” jawabku singkat.
.
Dari permintaan anak-anak, berarti jalan-jalannya harus agak jauhan. “Kalo dia tiba-tiba kepengen pup di tempat makan repot juga, ya?” Khawatir tak juga kuasa kusembunyikan.
“Udah... Aku bawa celana cadangan,” dengan bangga istriku menunjukan langkah antisipatifnya. Entah, dia mau atau tidak pas bagian bersih-bersih, sekira hajatnya berlangsung chaos? Alamat aku lagi ini mah!
.
“Ok!” Harapku, meski di luar rumah tuh anak bisa segera menyerah. Logikanya, kalo makan banyak entar dia nggk tahan juga, dan...hehe.
.
Setelah beberapa saat di tempat makan, udah makan, minum, muter-muter sampe bapaknya cape, Si Kecil tak juga mengibarkan bendera putihnya.
.
“Hayu ke kamar mandi, De!” sergahku karena yakin dia sudah kepengin banget.
“Nggak mau ke kamar mandi” jawabnya tanpa beban.
.
Sampai kami ke rumah, dia tetap bertahan. Malah tak berkomentar apapun karena kadung ketiduran di motor sejak mulai kami jalan pulang. Hadeuuh!
.
Karena ada janji dengan seorang teman, aku minta izin keluar rumah dengan konsekuensi off dari drama menegangkan ini. Semoga sepulang nanti situasi telah aman dan kemenangan dapat kami raih bersama! Itu saja harapku sebelum pergi.
.
Selang beberapa jam, aku pun pulang pulang. Kutengok Adhia sudah bangun dan tengah heboh syuting video sama kakaknya.
.
“Aku mau upload unboxing paket ibu, Papih!” ujarnya sambil tersenyum lebar.
“Yey... Kasian amat, paket mie instan ngapain di-unboxing? Ya Allah... sedus pula!”
“Diskon, Yang... diskon!” serobot istriku.
“Terserah, deh!” timpalku males diskusi.
.
Dari suasana rumah yang asyik, roman-romannya situasi sudah terkendali. Penasaran, aku pun bertanya sama istri, “Gimana ending-nya, Yang?”
“Galau, pokoknya! Dia nangis-nangis lagi minta popok. Bolak-balik tiga kali ke kamar mandi. Tapi cuma sampe ke pintunya,”
“Haduh... gimana, dong? Dipakein aja?”
“Ntar dulu! Terakhir, tanpa ngomong apa-apa dia langsung buka celana, lari masuk ke kamar mandi, tutup pintu, dan brat-bret-brot!”
.
“Oalah... Hahaha! Alhamdulillah....”
.
***
Yaah... Kok panjang gini, ya? Tadinya saya cuma niatin tuh cerita sebagai prolog, loh! Sumpah!
.
Tapi, itu kisah nyata di akhir pekan kami kemarin, Ges! (Nggak nanya!) Karakternya juga tak ada yang disamarkan, kok! (Apalagi ini! Haha...)
.
Sekadar berbagi bagaimana seru dan uniknya tiap episode dalam drama mengurus anak ini mah. Lucu-lucu nyebelin lah, ya!
.
Bukan niat manas-manasin penganut child free, ya! Saya menghargai pilihannya tanpa minat untuk menunjuk sikap mana yang lebih tepat.
.
Dalam film Leon, Nicole Kidman yang berperan sebagai seorang istri memilih mengadopsi dua anak terlantar dari Kalkuta. Dia menyepakati hal tersebut bersama dengan suami bukan karena dia tak bisa punya anak secara biologis. Alasannya, sudah terlalu banyak anak yang menderita di dunia ini. Menurutnya, kenapa kita harus menambah kemungkinan ada lagi anak-anak yang menderita jika bisa berusaha menyelamatkan yang sudah terlanjur lahir ke dunia. Well... bagaimanapun, itu alasan bagus, ya?
.
Nah, sebaliknya, buat yang memilih membesarkan anak sendiri. Tak salah jika ikut juga merenungi soal kenyataan di atas. Sebagaimana diketahui bersama, ada kewajiban kita sebagai orang tua untuk memastikan mereka siap menjadi bagian dari kerasnya dunia.
.
Dan untuk itu, tentu bukan dengan selalu memenuhi segala ingin dan permintaan anak kita, atas nama kasih sayang atau kasihan sekalipun!
.
Maaf, saya bukan pakar parenting, jadi orang tua juga baru kemarin sore, tapi saya yakin, dosa orang tua itu bukan karena tak mampu memasukan anaknya ke sekolah favorit atau tak sanggup membelikannya Nexian sekalipun saat teman-temannya sudah memakai I Phone.
.
Dosa orang tua adalah meninggalkan keturunan yang lemah secara mental dan spiritual sehingga dia tak memiliki daya juang saat menghadapi ujian dan tak punya daya tahan saat dihadapkan godaan.
.
Semoga kita dimampukan untuk selalu hadir dan mendampingi anak kita dalam setiap proses perkembangan mereka!
.
Papi Badar, 31082021
.
Salute buat yg baca sampe beres. Coba aminkan do'anya di kolom komentar ☺️🙏
#parenting #dedramaofbeol
Komentar
Posting Komentar