Tiga Lelaki di Tepi Kolam (Cerpen)

pixabay.com

Hari baru masuk waktu dhuha-nya, tiga lelaki lewat paruh baya--tapi belum terlalu tua--sudah duduk merenggang berjajar rapi di tepian sebuah kolam ikan. Bukan semata karena protokol kesehatan yang tiba-tiba menjadi trending di mana-mana, terlalu berdekatan bukanlah hal patut dilaku di tempat pemancingan.

Entah sepagi itu mereka bertiga telah bertemu sarapan di rumah masing-masing atau belum; ah, apalah pentingnya aktivitas itu mereka lewatkan di rumah. Tak ada ke-afdhal-an yang harus mereka kejar dari ritual santap pertama manusia selepas bangun dari tidurnya itu.

Edi, begitu nama lelaki pertama, telah lama tinggal sendiri setelah bercerai dengan istrinya. Kedua anaknya ikut dengan mantan istri pensiunan pns di sebuah markas TNI tersebut. Husin pun sama. Lelaki ke dua yang mengaku sempat berpuluh tahun menjadi operator mesin di pabrik tekstil itu, hidup sendiri setelah lima tahun lalu ditinggal mati Sang Istri. Tiga tahun kemudian, menyusul anak lelaki semata wayangnya yang pergi meninggalkan rumah karena tempat kerjanya pindah ke luar kota. Sedangkan lelaki hampir tua terakhir, sepertinya, dia bernasib lebih baik dari dua konconya tadi. Meski tetap, dia pun selalu sarapan di tepi kolam.

Karman, begitu mereka mengenalnya, selalu diantar di pagi hari dan dijemput pulang pada sorenya dengan sebuah mobil pribadi yang dibawa oleh seorang lelaki berumur sekitar setengah dari umur mereka. Entah siapanya, tak ada yang penasaran dengan hal tak penting itu. Meski sudah cukup lama mereka bertiga melewatkan akhir pekan di kolam pemancingan yang sama, tak pernah mereka saling bertanya masalah pribadi secara mendetail. Alhasil, informasi pribadi yang beredar di antara mereka hanya yang sifatnya umum. Lainnya, jika yang bersangkutan mengutarakannya saja.

Ciri lain dari lebih beruntungnya Karman; ya itu tadi, dia selalu membawa bekal sarapan.

Masih belum terlalu kentara bedanya? Begini, sarapan yang saban mancing di akhir pekan dia bawa, bukan hanya untuk dirinya. Karman membawa sarapan untuk mereka bertiga. Bahkan saat waktunya pulang tiba, penjemput selalu membawa bungkusan makanan yang dipesan Karman untuk dibawa pulang oleh kedua teman mancingnya tadi.

Ketiganya bukan siapa-siapa. Bukan teman lama, apalagi berhubungan saudara. Mereka baru kompak memancing bareng dari dua tahun belakangan. Husin baru ketagihan memancing sejak anaknya yang pindah ke luar kota menyarankan aktivitas tersebut sebagai sarana hiburan seminggu sekali untuk ayahnya. Disusul Karman tak lama kemudian yang mengaku butuh suasana berbeda dari aktivitas rumah yang itu-itu saja dan menjemukan.

Dengan ukuran enam kali sepuluh, kolam pemancingan ini tidak termasuk besar. Tapi bening airnya cukup untuk memantulkan cahaya matahari pagi yang menyegarkan dan menambah semangat hidup di usia mereka yang beranjak senja. Soal ikan, mereka tak terlalu berususan dengan hasil tangkapan. Dapat syukur, tak dapat pun tak masalah. Toh, mereka tak butuh membawa pulang ikan sebagai bukti buat orang rumah kalau mereka benar-benar pergi memancing.

Suasana yang mereka rasakan selama berada di sisi kolamlah tujuan utama yang mereka cari. Selain tenangnya air dan segarnya pagi, canda dan gelak tawa dari obrolan ringan di antara mereka yang seolah senasib sepenanggungan adalah penawar dari kesepian hati yang bisa mereka tenggak sekali dalam sepekan.

Mungkin, ini bukanlah situasi yang diidamkan oleh kebanyakan orang. Tapi, ya begitulah adanya. Bukan ingin mereka untuk tidak mengisi masa purna dengan mengasuh cucu, bermain dengan perkakas rumah, atau beternak burung kenari, misalnya. Masalahnya, untuk sebagian orang, motivasi untuk mengisi sisa usia dengan lebih berwarna, bisa jadi, sudah hilang keutamaannya. Lahan kreativas pun akhirnya mereka tutup rapat-rapat sejak alasan apresiasi dari orang sekitar sudah dipastikan sirna.

"Ayo, hari ini kita taruhan siapa yang dapat ikan paling banyak?" tantang Edi dengan yakin membuka obrolan tak penting yang selalu mereka bertiga nantikan.

"Halah! Minggu lalu juga Pak Edi cuma dapet dua ekor, kan? Nggak usah kepedean, deh! Hehe..." timpal Husin sambil tertawa.

"Eh... kali ini lain, Pak Husin. Edi udah siapin umpan spesial pake kroto super!" Dengan gayanya bicaranya yang selalu menyebut nama sendiri, seolah sedang membicarakan orang lain, Edi berusaha meyakinkan.

"Aslinya, Pak Edi?" tanya Karman sambil mengeluarkan alat pancingnya.
"Feeling Edi sih gitu, hehe... Mudah-mudahan saja, Pak!" sahutnya yang malah jadi kurang yakin.

Husin yang mendengarnya hanya senyum dan ikut menggoda Edi, "Nggak usah terlalu bernafsu, Pak Edi! Kebanyakan dapat ikan juga nanti juaranya tetap Pak Karman," pungkasnya.

Dari ketiga personil mancing ini, memang hanya Edi yang bisa diandalkan untuk bisa menangkap ikan dengan kailnya. Sebelum Husin dan Karman langganan datang ke kolam, Edi sudah dulu rutin memancing ikan di sana. Sayangnya, dalam dua agenda mancing terakhir, tangkapan mereka selalu minim. Minggu lalu saja, hanya tiga ekor ikan yang berhasil dinaikan. Dua hasil kailan Edi, satu ekor lagi dari jorannya Karman. Husin nihil, dan itu bukan hal yang mengherankan.

Tapi jelas, obrolan mereka tadi sekadar celoteh kosong belaka. Memancing ikan hanya media mereka bersenda gurau. Dan seperti yang terakhir dibilang Husin. Jika hasil tangkapan terlalu banyak, Karman juga yang biasa menutup kekurangan mereka saat membayar ikan hasil pancingan menjelang pulang.

Matahari mulai bergeser ke sebelah barat saat Edi belum juga berhasil mengisi koja yang dari awal telah dia pasang tepat di sisi kolam dekat ujung kakinya. Jangan ditanya bagaimana kabar Husin dan Karman, keduanya bahkan belum memasang jaring yang berfungsi untuk menampung ikan tangkapan tersebut. Berkaca pada kejadian lalu, hari ini mereka kompak untuk pesimistis.

"Susah amat? Apa memang nggak ada ikannya nih kolam?" Edi mulai menggerutu.

Kedua temannya tak terlalu mempedulikan ocehan Edi. Karman sibuk dengan gawainya. Sepertinya, dia memang sedang punya urusan yang agak serius. Sementara Husin, dia sedikit pendiam kali ini.

"Pak Husin, kok diam saja? Ganti umpannya Pak, kayaknya sudah habis?" tegur Edi kepada Husin yang sedari tadi memandangi bandul di depannya yang terus bergoyang tertiup angin. Bukan ditarik ikan.

Husin yang sedari tadi tenang dengan aktivitas statisnya akhirnya terjaga, "Gimana, Pak Edi?"

"Eh, malah melamun! Umpan Pak Husin kayaknya habis. Coba ganti!"

"Becanda, ah! Dari tadi juga belum disenggol ikan. Kayaknya emang kolam ini nggak ada ikannya, Pa Edi? Apa umpan dari Pak Edi yang kurang sip, nih?" sahut Husin.

"Enak aja! Ini racikan top, Pak! Edi berani jamin! Kayaknya, Si Haji saja yang lupa nyeburin ikan ke kolam?" timpal Edi membela diri.

"Jangan-jangan Pak Karman yang minta Pak Haji buat kolamnya dikosongin? Takut nombok!" sambung Edi sambil bercanda.

"Haha... Nggak, lah! Saya sudah minta diisi penuh, loh!" Karman berusaha menjawab sambil masih juga mengurusi obrolan pada aplikasi chat di gawainya.

"Tuh, jangan su' udzan! Udah pasti ini, Pak Edi yang salah ngeracik umpan! Hehe..." Husin membalas canda Edi.

"Apa iya, ya?" tanya Edi dengan ekspresi bingung yang disambut gelak tawa ketiganya.

Suasana kembali sepi. Masing-masing kembali memerhatikan jorannya sendiri-sendiri. Hawa dingin menjelang petang pun mulai terasa diseling desir angin yang terdengar semakin jelas memecah setiap kesunyian yang ada di dada masing orang yang ada di tepi kolam.

Meski niat setiap orang yang hadir di kolam itu adalah mencari hiburan di tengah suasana keseharian mereka yang menjemukan, tetap saja, dalam memancing selalu saja ada jeda yang mengundang para pemancing untuk kembali mengguar apa yang ada di dasar benak mereka. Kekosongan, kepenatan, kegaduhan, resah, sepi, atau apapun yang coba mereka endapkan, akan kembali buyar di momen seperti itu. Pelarian yang salah! Atau paling tidak, tak cukup jauh untuk bisa dikejar bayangan permasalahan-permasalahan yang coba mereka tinggalkan.

Karman seolah tengah gelisah menghadapi kenyataan, sesal membuat Edi menangis dalam hatinya, dan Husin menjerit atas kesepiannya ditinggalkan. Hampir tak ada kata-kata jujur di antara obrolan-obrolan yang tercipta di kolam ikan. Bahasan yang ada hanya seputar hal-hal yang tak sungguh-sungguh ingin mereka utarakan, dan gelak tawa sekadar keseruan sementara yang coba mereka nikmati meski akhirnya sakit itu selalu hadir kembali.

"Kita sudahi saja ya, Pak Edi? Sepertinya, ini bukan harinya kita?" tawar Karman sambil menoleh jam di lengan kanannya.

"Ya sudah, Pak Karman. Edi juga capek. Pak Husin, hayu kita pulang!" ajak Edi demi melihat Husin yang masih saja lekat dengan tatapan kosongnya.

"Pak Husin nggak apa-apa?" lanjut Edi kembali.

"Sudah saja Pak Husin, nanti lagi saja! Mungkin kita perlu cuti dulu. Udah tiga minggu ini hasilnya mengecewakan." Karman ikut menambahkan.

Husin yang lama terdiam pun tersenyum menoleh, "Iya, Pak! Tapi tak usah cuti deh, Pak Karman. Saya nanti telefon anak saya buat nanya umpan yang bagus," ucapnya seolah keberatan kehilangan aktivitas mancing mingguannya.

"Boleh... Pak Husin tanya aja dulu," jawab Karman diplomatis.

"Anaknya suka mancing juga, Pak Husin?" Edi ikut bertanya.

"Dulu, Pak Edi. Sekarang bilangnya sudah nggak mancing lagi."

"Padahal asyik kalo bisa mancing bareng kita, Pak Husin!" ujar Edi dengan semangat. "Kenapa berhenti, Pak?" kejar Edi dengan pertanyaan.

"Nah itu, katanya mau berubah. Sambil pindah ke tempat baru, ingin hidup lebih teratur, katanya. Ada-ada saja anakku itu!" jawab Husin sambil menggelengkan kepalanya lambat seolah menyesalkan sikap anaknya.

Tak disangka, jawaban Husin malah membuat Edi termenung. Ada gurat-gurat kesedihan yang terlihat di wajah kerasnya. "Oh... syukurlah," timpalnya datar.

"Nggak apa-apa, Pak Husin! Kita dukung saja selama niat anak kita baik. Ya nggak, Pak Edi?" Karman kembali mencoba menyela bijak.

Seolah tahu ujaran Karman hanya seucap santun yang tak begitu perlu untuk direspon, kedua temannya hanya diam membatu. "Lah, malah pada diam lagi? Yuk, pulang! Udah sore, Bapak-bapak!" Karman terpaksa kembali bersuara khawatir kedua temannya kembali menikmati lamunan sementara senja tak mungkin dia tahan untuk datang.

"Yuk, Pak! jawab Husin dan Edi hampir bersamaan.

Mereka pun pulang tanpa tangkapan. Untunglah, Karman tak absen dengan bingkisan makanan untuk kedua temannya itu. Edi dan Husin pun akhirnya tetap bisa membawa sesuatu untuk dibawa mereka pulang. Selain tentu, kepiluan yang tetap saja tak bisa dihempaskan di hati keduanya.

Pagi menjelang siang di minggu berikutnya, Edi sudah terduduk di sisi kolam sambil mengeluarkan peralatan tempurnya. Sesekali dia menoleh ke sisi kanan, letak gerbang masuk menuju kolam yang hanya ditutup oleh pagar dari bambu, berharap kedua temannya segera datang. Masih saja sepi. Pak Haji pemilik kolam yang biasanya nangkring di warung samping gerbang pun tak terlihat batang hidungnya.

Kolam tempat Edi dan kawan-kawan memancing ini memang bukan kolam pemancingan yang ramai. Sekilas lebih seperti tempat orang mencari ketenangan. Sebenarnya, masih banyak kolam pemancingan lain di sekitar lokasi tersebut. Tapi kolam lain memang tak cocok buat mereka. Sistemnya bukan bayar ikan hasil tangkapan--kilo angkat istilahnya. Semuanya berupa kolam galatama dan kilo gebrus, yang keduanya mengandung unsur ketidakpastian.

Edi baru hendak melempar umpannya ketika tiba-tiba seseorang mendekat ke arahnya. Sontak dia menoleh. "Eh, kayak kenal?"

Bukan satu dari dua teman yang ditunggunya, sosok ini jauh lebih muda. Bahkan tepatnya, seumuran anak pertamanya Edi.

"Pak Edi kok mancing di sini? Pantas saja dulu tiba-tiba tak pernah ikut galatama lagi." Pemuda itu balik menyapa Edi.

"Tuh, kan! Kata saya juga apa? Maaf udah tua. Siapa nih, saya lupa lagi?"

Mata Edi bergerak naik turun sejurus otaknya mencoba mengorek ingatan lama. Seiring usia, lupa telah menjadi penyakit bawaan dia. Tapi uniknya, dia tak lupa untuk tidak menggunakan gaya bahasa kekanakan dengan selalu mencatut nama saat berbicara, di depan orang yang berusia jauh di bawah usianya. Dia berhasil memakai kata ganti orang pertama, "saya".

"Rudi, Pak! Kan dulu sering ketemu kita."

Wajah Edi berubah sumringah, "Ya, iya, iya.... Terus ngapain ke sini, Rud? Nggak bawa peralatan lagi?"

Rudi tersenyum dan mengambil tempat duduk di samping Edi. Sejenak setelah menarik nafas, dia mulai berbicara, "Saya sudah dua tahun berhenti mancing, Pak Rudi. Capek! Begandang terus, mana uang nggak pernah nyisa, lagi! Hehe...."

"Ah, nyindir saya kamu!" balas Edi sambil tersenyum. Dia pun melanjutkan, "Tapi syukurlah, Rud. Jangan seperti saya yang telat mengambil keputusan," ungkapnya serius.

"Sendiri saja, Pak?" Rudi balik bertanya.

"Iya, biasanya bertiga. Tapi belum pada datang," jawab Edi.

"Oh, jadi Pak Edi yang menunggu Pak Husin?"

"Iya, kamu kenal, Rud?"

Tidak langsung menjawab, Rudi malah menatap Edi sekilas, dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari tas selempangnya.

"Ini umpan pesanan bapak saya, Pak Edi. Beliau nggak bisa datang."

"Kamu anaknya Husin?" Edi bertanya dengan raut kaget. Rudi hanya mengangguk.

"Terus bapak kamu kemana?" susul Edi.

Kembali menghela nafas panjang, Rudi mulai bercerita, "Dari tiga minggu lalu penyakit bapak mulai kambuh, tapi saya belum bisa pulang, Pak. Saya tak bisa memaksanya untuk istirahat atau periksa ke dokter. Beliau meninggal dua hari lalu, Pak," Dengan berkaca-kaca dan terbata, Rudi berusaha menyampaikan kabar tentang bapaknya.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Husin...." Edi ikut tertunduk lesu. Sesal di dadanya menyeruak karena tak pernah tahu apapun tentang kondisi teman sepemancingannya. Mereka berdua pun lama terdiam membiarkan bening air kolam, sepoi angin, dan hangatnya mentari, membawa bayangan Husin hadir menemai mereka di pinggir kolam.

Selang beberapa saat, Rudi bangkit dari duduknya dan berpamitan untuk pulang.

"Saya pamit, Pak Edi!"

"Ya, sudah. Sabar ya, Rud! Padahal temani saya mancing dulu, Rud. Sepi, mana lagi susah dapat ikan lagi!"

"Hehe...," Rudi tersenyum mengingat permintaan ayahnya untuk dibuatkan umpan. Terbayang ayahnya dan dua temannya hanya bengong seharian di tepian kolam.

Tenang, Pak Edi. Sekarang ikannya udah banyak lagi, kok! Kemarin-kemarin Pak Karman minta Pak Haji buat kosongin kolam. Tadinya, biar bapak saya nggak mancing dulu."

Penjelasan Rudi keluar yang kembali membuat Edi kaget. "Loh, kamu kenal Karman juga?"

"Iya... dia pemilik pabrik tempat saya bekerja, Pak!"

©Papi Badar, 16072020

Catatan:
*Koja, keranjang ikan
*Kilo angkat, sistem pemancingan dengan perhitungan hanya ikan yang berhasil ditangkap yang dibayar. Kolam sudah diisi ikan oleh pemiliknya.
*Kilo gebrus, dalam sistem ini, para pemancing membeli ikan terlebih dahulu untuk dimasukan ke kolam dan masing-masing membawa sejumlah ikan yang berhasil mereka tangkap saja.
*Galatama, sistem ini seperti kompetisi. Para peserta mendaftar untuk setiap sesinya, lalu mereka berlomba untuk menjadi juara dengan mendapatkan ikan paling besar, paling banyak, atau ikan dengan kriteria khusus (ikan maskot).

#cerpen #cerpenakhirpekan #kumcerandriswelt

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi