Sulastri dan Pasar Minggu Pagi (cerpen)

pinterest.com

Tak banyak yang berubah dengan kota kecil ini sejak 20 tahunan lalu. Terutama pasarnya. Masih terletak di muka pertigaan, menghadap ke jalan lurus yang membelah jalan utama di kota ini. Istilah feng sui-nya, tusuk sate. Ah, urusan apa dengan hitung-hitungan keberutungan macam itu. Tak ada pedagang pasar di sini yang percaya soal feng sui.

Lagi, tak banyak yang berubah juga dengan pemandangan hari minggu sejak dua tahunan lalu di pasar ini. Sekira pukul sembilan pagi itu, Sulastri dan anak perempuannya sudah duduk-duduk di bangku tukang bubur ayam yang berjualan di depan toko besi yang letaknya persis di belokan sisi kanan jalan yang membelah tadi.

Di seberang tempat mereka terduduk, atau sebelah kiri jalan pembelah, sebuah toko emas terlihat sibuk dengan kegiatan buka tokonya. Ada pelayannya yang melap-lap etalase, ada yang menyapu, ada juga yang merapikan benda-benda yang hendak dipamerkan. Salah satunya, pelayan pria yang sedang memegang sapu, sesekali bermain kode dengan Sulastri. Entah dengan kedipan, gerakan tangan, gelengan, atau anggukan. Itung-itung pelemasan otot dan sendi, mungkin.

Sementara Sulastri tengah berkomunikasi jarak jauh tadi, anak Sulastri mulai menggerak-gerakan kakinya bosan. Waktu sudah lalu lebih dari setengah jam dari dia menghabiskan semangkok bubur ayam komplit yang dilahapnya tanpa diaduk. Lebih elegan! Begitu, pikir bocah yang sungguhpun tak turut salah satu aliran dalam cara memakan bubur ini.
Ditengoknya Sang Ibu sedang komat-kamit tak jelas dengan isyarat tangan belibet ke arah seberang mereka terduduk. "Mak, kayak orang aneh! Hehe..." seru anak perempuan umur delapan tahun itu sambil tersenyum. Sulastri tak acuh.

"Kenapa nggak teriak saja, Mak? Biar kayak Tarzan!" canda anak itu lagi. Sulastri melirik sejenak ke arah anaknya, memasang muka jutek, lalu balik lagi ke aktivitas absurd-nya.

Selang tak berapa lama, anak Sulastri kembali menjeda, "Sekarang aja ya, Mak?"

"Bentar lagi, Neng! Tuh, lapak ayamnya juga masih penuh!" tutur Sulastri sambil menunjuk ke arah penjual ayam potong di emper pasar.

Beranjak sedikit ke samping kanan ibu dan anak ini berdiam, di depan bangunan pasar, berjajar jongko-jongko pedagang yang berjualan di luar bangunan pasar. Bermodalkan meja dan peralatan seadanya, mereka diizinkan melapak di halaman pasar sampai pukul sepuluh pagi. Jelang jatah waktu jualan habis, biasanya mereka sudah sepi pembeli. Mungkin berbeda untuk hari ini, rizki tukang ayam potong masih belum tuntas turun pagi itu.

Berdagang di halaman pasar tak mengharuskan para pedagang ini memiliki kios permanen yang harga beli ataupun sewanya cukup tinggi. Hanya saja, jam operasional mereka berjualan di sana terbilang pendek--berbeda dengan pemilik kios yang bisa leluasa untuk buka--tutup lapaknya. Tapi uniknya, para pembeli yang datang pagi-pagi biasanya lebih senang berbelanja di area depan pasar dari pada harus masuk ke dalam. Cuma beli sayuran sama lauk-laukan buat apa harus keliling di dalam pasar? Mungkin begitu pikir mereka.

"Emak mau ikut?"
"Ya, nggaklah! Biasanya juga cuma kamu aja, Neng!"
"Terus Emak ngapain? Nunggu di sini?"
"Ih, kayak baru sekali ini aja? Ya iya, Neng! Emak nunggu di sini. Paling kalau kesel, Emak ke seberang sebentar."

Sejenak keduanya kembali terdiam sejurus abang tukang bubur membereskan dua mangkok kosong bekas bubur mereka. Pandangan Si Bocah fokus ke arah depan pasar, sedang ibunya, masih istiqamah dengan urusan di seberang jalan tadi.

"Udah agak sepi, Mak! Neng ke sana ya?" Bocah perempuan itu meminta izin ibunya demi melihat suasana di tukang ayam yang mulai lengang.
Melirik, memastikan, Sulastri pun mengiyakan. "Ya sudah, awas ada ojek atau delman! Nyebrangnya hati-hati!" pesan Sulastri kepada anaknya.

"Iya...."

Dengan sumringah anak Sulastri melenggang meninggalkan bangku kayu miliknya tukang bubur menuju jongko ayam potong di depan pasar. Sesekali dia berlari, lajunya seperti anak yang menyerbu bapaknya setelah beberapa hari tak bertemu.

Lama menunggu, tak juga membuat Si Bocah berlama-lama di lapak ayam potong. Meski senang, dia ingat Sang Ibu menunggunya. Tak lebih dari seperempat jam, Si Bocah sudah balik berjalan dari lapak tukang ayam menuju tempatnya bermula.

Sesampainya kembali di tukang bubur, didapati ibunya masih terduduk di posisi lama dengan muka yang menampakan kekesalan dan marah.

"Mak, marah sama Neng? Neng nggak lama, kok?" Kaget, bocah lugu itu khawatir dirinya jadi biang kekesalan ibunya.

"Eh, nggk!" Sadar anaknya sudah ada di hadapan, Sulastri berusaha mengubah wajah kusutnya.

"Gimana ketemu bapaknya?" sambung Sulastri bertanya kepada anaknya.

Sang Anak tersenyum senang.

Penjual ayam potong di depan pasar itu memang bapaknya Si Neng. Sayang, hubungannya dengan Sulastri sendiri berakhir setelah mereka bercerai dua tahun lalu. Beda prinsip! Begitu kata Sulastri, meski orang sekota tentu bergosip lain.

Sulastri yang tergolong bunga RW, merasa lebih layak untuk mendapat lebih dari sekadar seorang tukang potong ayam. Dia kecewa, gaya hidup kelas bawah yang lama sudah dia jalani sedari kecil tak juga beranjak naik setelah dia menikah. Padahal, Sulastri berharap reputasinya sebagai primadona--meski sekelas RW--bisa mendongkrak kehidupan ekonominya.

Godaan pun muncul, beberapa lelaki seolah memberi angin untuk percaya diri Sulastri naik kembali. Bulat tekad, Sulastri memilih pisah.
Setelah perpisahan itu, setiap minggu pagi, rutin Sulastri mengantar anaknya ke pasar untuk mengambil jatah uang jajan.

"Neng naik kelas, jadi uang jajannya juga naik, Mak!" seru Si Anak girang. "Emak kenapa kayak marah?" lanjutnya bertanya pada Sang Ibu.

"Mak kasih tahu ya, Neng! Meski wangi, bersih, pelayan tukang emas tetaplah jongos!" tukas Sulastri kesal.

Gadis kecil itu bengong mendengar apa yang diucapkan ibunya.

"Ah, sudahlah!" Buru-buru Sulastri menutup bahasan soal pelayan toko emas. Dia hilap sampai menyampaikan hal yang benar-benar tak perlu didengar oleh bocah selugu anaknya itu. "Itu apa?" tanyanya sambil menunjuk bungkusan di tangan Si Bocah.

"Ini kain, Mak. Bapak minta ini dijahit biar bulan depan bisa kita pake. Emak sih, dari minggu lalu bapak minta Emak ikut Neng ke tempat jualannya, nggk mau!" jawab anaknya masih dengan nada gembira.

"Lah, ada apa emang, Neng? Tumben ngasih kain segala?" selidik Sulastri penasaran.

"Bapak mau nikahan bulan depan, Mak!" jelas anak itu sedikit ragu.

Benar saja, raut Sulastri kembali kusut. Sembrawut malah. Sudah tiga kali dia ganti pacar setelah pisah dengan Si Tukang Ayam, malah mantan suaminya itu yang bakal duluan mendapatkan pasangan.

"Duh, masih laku juga ya bapak kamu!" Nada bicara Sulastri terdengar sumbang dan meninggi.

"Kayaknya, Mak... meski kotor jualan ayam, bapak tetaplah jadi bos!" tandas anak Sulastri santai.

Papi Badar, 27072020
#cerpen #cerpenakhirpekan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi