Karena Satu Tanpa Nol Tak Pernah Manjadi Sepuluh

Ilustrasi desa, pixabay.com


"Bruk!" Tubuh Neng Mumun jatuh di kasur pegas yang telah setia manampung body gembrotnya selama lebih dari empat tahun terakhir itu. Sungguh takkan tega jika kita mendengar derit per-per yang terpasang di dalamnya. Kreket...kreket, seolah menjeritkan pilu yang menyayat hati.

Kabar baiknya, masa bakti Sang Kasur akan segera berakhir digenapnya lima tahun dia mengisi kamar Neng Mumun yang berukuran enam kali empat meter persegi itu. Peremajaan dalam segala hal memang telah Neng Mumun terapkan dengan ketat. Karenanya, dia sangat dikenal di kalangan bos rongsok penampung barang-barang seken layak pakai. Yang dipakai harus bikin nyaman, yang tak terpakai tetap harus bisa jadi duit! Begitulah prinsip ekonomi Neng Mumun.

Sejatinya, Neng Mumun tergolong orang mampu di daerahnya. Dia mampu membangun rumah megah bergaya feodal dengan dua tiang menjulang di mukanya, mampu membeli mobil kelas menengah tanpa menyicil, dan tentu saja, mampu menyuplai makanan-makanan nguenah yang berkontribusi pada penumpukan lemak di tubuhnya.

Hanya saja, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang bertengger di benak Neng Mumun, menyisa risau yang selalu ada meski dia sudah melahap tiga porsi sate maranggi plus sebakul nasi.

Ihwalnya tak lain karena belum juga bertambahnya toko emas peninggalan orang tua yang kini dia kelola. Sepeninggal kedua orang tuanya hijrah ke Botswana demi mencari ketenangan hidup, Neng Mumun dipercaya untuk mengelola toko emas yang telah turun temurun ditekuni oleh keluarga Aki Burukbuk--kakek buyutnya Neng Mumun.

Seharusnya ini bukan masalah besar. Toh, selama dikelola Haji Choky Salatri, bapak Neng Mumun, usaha toko emas keluarga tersebut tak pernah menambah toko selain yang terletak di samping pegadaian, depan pasar Bojong Terong yang terkenal banyak copetnya.

Kenapa sekarang jadi beban pikiran, alasan itu muncul setelah kompetitor utama dan satu-satunya dalam bisnis jual beli emas Neng Mumun terus berkembang dan nyaris selalu selangkah lebih depan kayak slogan di iklannya motor yamaho. Neng Mumun pun dibuat galau melihatnya meski pasokan logistik di rumahnya tak pernah terpengaruh sama sekali.

"Kok bisa?" Selalu tanya itu yang digumankan Neng Mumun tiap kali dia teringat kemajuan usaha jual beli emas Ceu Pitri yang merupakan saingan usahanya itu. Saat ini, bisnis Ceu Pitri telah dijalankan di tiga toko dengan lokasi yang berbeda-beda. Lebih lagi, baru-baru ini Ceu Pitri baru saja membuka gym yang sengaja dibangunnya demi membeli pengakuan jelata Bojong Terong bahwa dia adalah satu-satunya instruktur zumba profesional di sana. Hati Neng Mumun pun kian hareudang. Panas, panas, panas!

Tak tahan dengan perang psikis ini, Neng Mumun pun mendatangi Ki Mansyur guna mencari pencerahan di tengah hatinya yang temaram. Bukan jampi atau jimat, Neng Mumun tahu kapasitas seorang Ki Mansyur. Orang yang seolah tua sebelum waktunya karena panggilan "ki" ini pernah satu kelas dengannya semasa SMU. Sempat naksir, malah! Jadi, untuk mempercayai Ki Masyur sebagai "orang pintar", tentu saja Neng Mumun bisa protes keras. Mana mungkin orang pintar tega dia tolak sampai tujuh kali.

Tapi, begitulah hidup. Gelap malam pasti berganti terang siang, laris cuanki bisa berganti dengan merebaknya baso aci. Dinamis!

Seiring waktu, Ki Mansyur pun mampu menyejajarkan diri dengan para inohong di Bojong Terong. Kini dia menjadi sosok yang dituju orang-orang untuk dimintakan nasehat dan petunjuknya dalam berbagai persoalan hidup. Dari bagi warisan sampai bagi jatah bantuan, dari pilih usaha sampai pilih mertua, Ki Mansyur-lah yang selalu diminta pendapatnya.

Sayangnya, bukan solusi matang yang dibawa Neng Mumun dari kediaman Ki Mansyur siang tadi. Gundahnya malah bertambah dengan kias yang terlontar dalam nasehat Ki Mansyur untuknya. "Satu tanpa nol tak pernah menjadi sepuluh, Mun," tutup Ki Masyur dengan akrab bersahaja namun tetap mempertahankan wibawa dalam intonasi ucapannya.

"Maksudnya, Ki? Eh, Syur." Neng Mumun menyempatkan diri untuk meminta penjelasan dari maksud kalimat Ki Mansyur yang selalu memintanya untuk bersikap akrab seperti waktu SMA dulu. Tapi, Ki Masyur hanya tersenyum dan mempersilahkan Neng Mumun untuk merenungkannya sendiri. Buntu!

Ya, tentu saja buntu! Ki Mansyur lupa, sejak kecil badan Neng Mumun memang berkembang sempurna--termasuk rupanya yang di atas rata-rata warga negara Bojong Terong--tapi organ di tempurung kepalanya, hanya alakadarnya. Alhasil, sekarang Neng Mumun hanya terbaring menatap langit-langit kamar yang penuh dengan replika dinosaurus menempel di permukaannya. Harapnya, brontosaurus, triceratop, atau tyranosaurus, akan bisa membantu menerjemahkan maksud Ki Mansyur.

Satu jam, dua jam, tiga jam, tetap saja mentok. Untunglah, rasa lapar akhirnya mengalahkan renungan Neng Mumun di atas ranjang. Bergegas dia ke dapur dan mendapati Mang Eko yang tengah mengiris bawang merah.

"Eh, kirain belum di rumah, Mun?" Sedikit kaget, Mang Eko menyambut Neng Mumun yang tiba-tiba muncul di dapur.

"Dari tadi juga di kamar. Lagi ruwet, mana laper lagi! Eh, kamu di dapur malah lagi mewek?" jawab Neng Mumun sekalian basa-basi. Dia juga tahu linangan air mata Mang Eko disebab oleh aroma bawang merah yang diiris. Bukan lembut hati Sang Jongos yang teriris.

"Bawangnya jahat nih, Mun! Padahal aku nggak pernah julidin dia,"

"Deritamu!"

"Iya... risiko bikin pakan kudanil, Mun."

"Teu sopan, maneh!"

"Hereuy atuh, Mun!"

Meski hubungan mereka adalah majikan dan ART, keduanya begitu akrab sehingga Mang Eko tak sungkan memanggil Neng Mumun dengan tanpa embel-embel "Neng" apalagi "Agan". Mang Eko telah bertahun-tahun menjadi ART kesayangan Neng Mumun. Pasalnya, bukan hanya masak dan bersih-bersih, Mang Eko bisa juga dimanfaatkan sebagai tukang kebun, tukang ledeng, tukang bangunan, tukang ronda, dan tentu saja, tukang lawak yang setia menemani Neng Mumun dengan lelucon cablaknya. Otak Neng Mumun yang penuh siasat soal efisiensi pengeluaran, tentu saja berjodoh dengan artis serba bisa macam Mang Eko.

"Bingung aku, Ko!" Tak bisa ditahan, Neng Mumun akhirnya curhat juga.
"Kunaon, Mun?"

"Tadi ketemu Ki Mansyur. Aku teh mau minta nasehat sama dia soal usaha di toko yang gitu-gitu aja. Eh, malah dikasih teka-teki!"

"Ada-ada aja atuh kamu, mah! Kade ah, Ki Mansyur mah suka punya maksud lain, Mun!"

"Suka suudzon kamu mah!"

"Eh, bener! Rada cunihin, Mun. Denger-denger, istrinya juga sudah nyerah dan ikhlas kalo dia mau kawin lagi."

"Ya, biarin atuh. Nggak ada hubungannya sama aku."

"Ih, ari Mumun? Pan kamu teh dah lama menjanda. Banyak harta, nggak punya anak, lumayan cakep, lagi!"

"Kok, lumayan?"

"Kelewat muji, aku takut naik gaji, Mun!"

"Alus atuh ari kitu mah!"

"Eh, Emang Ki Mansyur ngomong apa?"

"Satu tanpa nol takkan menjadi sepuluh katanya, Ko! Itu solusi yang harus aku pikirkan. Apa maksudnya ya, Ko?"

"Duh, jelas atuh itu maksudnya apa, Mun!"

"Apal maneh, Ko? Kumaha, kumaha?"

"Hehe.... Mun, apal pan Si Pitri?"

"Saingan aku?"

"Enya, nu geulang koroncongna nepi siku. Saha deui atuh?"

"Terus?"

"Perhatikan atuh, Mun. Dia bisa maju karena dia nggak berusaha sendiri. Dia dibantu, didukung, sama suaminya."

"Oh...."

"Malah kalau diperhatikan, suaminya seperti tak lebih dari pembantunya. 'Susi' banget!"

"Hubunganya sama omongan Ki Mansyur?"

"Ampun ah, Maneh mah! Iya itu. Kalau cuma sendiri mah Si Pitri nggak bakal sesukses sekarang, Mun. Nah, maksudnya, kamu juga harus punya partner kalau ingin lebih maju, Mun."

"Oh... ngerti, ngerti. Cuma itu aja, maksudnya? Bukannya ngomong yang jelas atuh Ki Mansyur teh?"

"Ya, canggung kali, Mun. Lagian, biarin aja! Nggak usah nurut sama nasehat dia, Mun! Bisa saja dia cuma mau manfaatin kamu."

"Lah, kenapa jadi kamu yang ngatur? Usaha urang, kumaha urang!" protes Neng Mumun dengan nada marah atas saran Mang Eko.

"Astagfirullah! Hampura, Mun. Aku mah cuma ngasih saran. Keputusan mah ada di Mumun. Silahkan gimana Mumun saja," sanggah Mang Eko kaget. Dia tak menyangka Neng Mumun bakal tersinggung dengan sarannya.

Tadinya, Mang Eko cuma khawatir jika Neng Mumun termakan siasat Ki Mansyur dan memasrahkan diri untuk menjadi istri ke duanya.

Entah gejolak apa yang sedang terjadi dalam diri Neng Mumun sampai dia harus mengatur nafas guna meredakan amarahnya. Apa karena dia telah lelah mengurus usaha yang terus saja jalan di tempat sementara saingannya maju pesat, atau apakah dia mulai mau melihat Ki Mansyur dari sisi yang lain, untuk kemudian membuka hati yang tak pernah dia izinkan terbuka semasa SMA? Hanya Neng Mumun yang tahu.

Tanpa bicara, masih dengan muka masam, Neng Mumun langsung balik badan meninggalkan dapur dan melewatkan telur dadar corona yang siap Mang Eko sajikan.

Esoknya, matahari baru nongol Neng Mumun sudah rapi dengan pakaian kasual yang dibalut blazer warna biru pastel, bawahan kulot coklat, dan sepatu kets warna oranye. Dia berniat menjumpai Ki Mansyur terlebih dahulu sebelum membuka toko emasnya.

"Assalamualaikum, assalamualaikum...," sahut Neng Mumun setelah memarkir motor metik seri terbaru dan termahal dari pabrikan yamaho di pekarangan Ki Mansyur.

Dengan sumringah Ki Mansyur yang sedang memandikan burung muray kesayangannya di teras depan segera menyambut dan membalas salam dari tamu agung yang tidak dia sangka akan kembali mampir secepat itu.

"Waalaikumsalam.... Eh, Mumun! Gimana, udah dapet solusinya?"

"Ah, Ki Mansyur mah sok tara to the point! Ngetes abdi, nyak?"

"Eh, nggak atuh, Mun! Sini, sambil duduk atuh! Biar enak ngobrolnya," ajak Ki Mansyur sambil mengarahkan Neng Mumun menuju kursi kayu klasik di teras rumahnya yang bergaya minimalis kolonial.

"Mau kopi, Mun?" tawar Ki Mansyur yang tak lebih dari sekadar basa-basi sedikit ragu. Dia tahu, istrinya tak mungkin mau membuatkan kopi untuk tamu yang mengancam status quo dirinya.

"Nggak usah, Syur! Cuma sebentar, kok! Aku harus buka toko."

"Sok gimana atuh, Mun? Setuju sama solusi yang saya tawarkan?"

"Mmh... setelah dipikir, emang bener nasehat kamu, Syur!"

"Jadi, setuju?" susul Ki Mansyur, yakin bahwa Neng Mumun telah paham maksud dari pesan yang disampaikannya hari kemarin.

"Iya atuh!"

"Alhamdulillah.... Saya senang mendengarnya, Mun. Jadi, kita tinggal diskusikan masalah teknisnya saja ya, Mun?" tanya Ki Mansyur mulai tak sabar menunggu kick off seolah yakin dirinya bisa menang 3 gol tanpa balas.

"Ah, nggak perlu, Syur!"

"Lah, harus atuh! Biar enak buat semua pihak, Mun."

"Aman. Jangan khawatir, Syur! Gini, besok datang saja jam sembilan pagi ke toko, ya!"

"Lah, terus?" Ki Masyur bingung.

"Kamu bener, Syur. Aku nggak mungkin bisa maju kalau cuma sendiri. Nah, aku minta bantuan kamu buat ngurus toko. Tapi sementara, kamu tongkrongin aja toko aku tiap hari dari jam sembilan sampe jam tiga, ya! Kamu pan termasuk inohong di Bojong Terong ini. Ya, itung-itung kamu aku endorse-lah." Jidat Ki Mansyur tambah berkerut mendengarnya.

"Tenang, tenang, ada bayarannya, kok! Infak terbaik geuning, klo di leaflet-leaflet seminar, mah," sambung Neng Mumun tanpa ragu.

"Belegug! Ka Uing nitah jadi satpam!?" teriak Ki Mansyur dalam hati.

Papi Badar
Bandung, 22062020

Cuma fiktif, dibuat untuk teman-teman di Gen-Six Grup Smunsa Cjr.
#cerpen #inohongdibojongterong #ceritasunda

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi