Konflik Uighur, Pelik di Mata Saudara Sendiri

Muslim Uighur berdemontrasi dengan membawa foto Mesut Oezil. Ciutan Oezil tentang Uighur sempat viral dan membuat gerah Cina. (Gambar: swaranesia.com)


Oleh: Andris Susanto

Sebagai seorang yang superior dalam rumah tangga, seorang suami sangat mungkin melakukan pressure, intimidasi, bahkan kekerasan, terhadap pihak-pihak inferior di lingkungannya. Sebuah kejadian semisal beberapa waktu lalu sempat terjadi tak jauh dari tempat saya tinggal. Dinilai berpotensi menimbulkan korban di luar konteks kewajaran berumah tangga, para tetangga yang mengetahui hal tersebut memutuskan untuk masuk ke wilayah perselisihan dan alhamdulillah, berhasil menghentikannya.

Dalam konteks bermasyarakat, gambaran perselisihan rumah tangga di atas, tentu, masuk ke dalam ranah privat sebuah keluarga. Namun, saat perselisihan berkembang ke arah yang membahayakan dan tak lagi wajar, sikap pihak-pihak di luar lingkaran yang memutuskan masuk ke dalam konflik internal sudah menjadi sebuah keharusan karena di sanalah fungsi adanya kontrol sosial. Sederhana bukan?

Berkaca pada fenomena serupa yang skalanya jauh lebih besar, konflik antara etnis minoritas Uighur dengan pemerintah Cina bukan lagi semata urusan internal negara tersebut dalam menjaga stabilitas negerinya. Isu mengatasi separatisme, radikalisme, dan terorisme yang mereka dengungkan, tak lagi kontekstual dengan hilangnya kesempatan jutaan orang dari etnis Uighur untuk mendapatkan hak-hak dasarnya. Harusnya, konflik uighur di Xinjiang pun--secara otomatis--dapat mengunggah kepedulian pihak luar untuk memberikan andil dalam penyelesaiannya. Tapi nyatanya, tidak sesederhana itu.

Seperti yang banyak diberitakan media internasional, lebih dari satu juta etnis Uighur yang beragama muslim, saat ini ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi pemerintah komunis Cina. Di sana, mereka diagendakan untuk menjalani re-edukasi dan de-asimilasi budaya.

Wilayah Xinjiang memang memiliki karakteristik yang berbeda dari daerah kekuasaan Cina selebihnya. Selain diisi oleh etnis Uighur yang perawakannya lebih mirip ras Eurasia dan beragama muslim, dengan dukungan soviet, Xinjiang sempat beberapa kali bergejolak, bahkan sampai mendeklarasikan diri sebagai Republik Islam Turkistan Timur (1933--1934) dan Republik Turkistan Timur (1944--1949).

Terkait kamp konsentrasi di Xinjiang, pemerintah Cina berdalih, kamp-kamp tersebut hanyalah tempat-tempat kursus dan pelatihan yang ditujukan untuk meredam gerakan separatis dan terorisme yang kerap muncul di sana. Tapi, temuan dunia internasional justru membangun dugaan bahwa kamp tersebut lebih memilukan dari sekedar pusat belajar keterampilan. Dugaan tersebut didukung dengan adanya bocoran dokumen rahasia pemerintah komunis Cina yang dipublish New York Times dan menjelaskan adanya upaya represif tanpa ampun pemerintah Cina terhadap dugaan pembangkangan etnis uighur terhadap penguasa.

Menanggapi temuan-temuan memprihatinkan mengenai etnis Uighur yang semakin banyak tersebar, kecaman dunia terhadap pemerintah Cina pun bermunculan sebagai solidaritas atas penderitaan yang dialami oleh etnis Uighur. Setidaknya, telah ada 22 negara yang mengecam dan telah menandatangi surat untuk Dewan Ham PBB agar mendesak pemberhentian berbagai pelanggaran HAM pemerintah Cina terhadap etnis Uighur dan kaum minoritas lainnya di Xinjiang. Beberapa di antaranya ada Jepang, Prancis, inggris, Jerman, Canada, dan Australia. Uniknya, dari 22 negara yang berani menunjukan keprihatinan dan dukungannya terhadap kaum minoritas muslim di cina itu, tidak ada satu pun negara muslim yang berani ikut ambil bagian.

Bagaimana dengan indonesia? Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia lebih memilih melakukan pendekatan bilateral yang pemerintah istilahkan sebagai diplomasi lunak dengan dasar bahwa konflik Xinjiang merupakan masalah internal cina sendiri.

Pandangan tersebut tidaklah salah. Namun, saat pelanggaran HAM, penganiayaan fisik dan psikis, serta pengekangan atas hak beragama diindikasikan telah dan terus saja terjadi disana, tidakkah, sikap pemerintah indonesia yang demikian tak lagi sesuai dengan amanat undang-undang Dasar 1945 yang meminta kita untuk turut menciptakan ketertiban dunia.

Menimbang aspek lainnya, rasionalisasi sikap lembek negara kita pun seolah pantas adanya. Saat ini cina telah menjadi investor terbesar indonesia, setelah singapura, dengan dana terkucur sebesar 3,3 juta dolar Amerika atau naik 83 persen dalam satu tahun terakhir. Belum lagi, dukungan dana pemerintah cina terhadap organisasi-organisasi islam tanah air ternyata juga tak kalah besar. IPAC (Intitute for Policy Analisys of Conflict) menyebutkan, sejak dibukanya hubungan bilateral Indonesia - Cina, NU dan Muhammadiyah telah menjalin hubungan mesra dengan pemerintah Cina, termasuk telah menandatangani kerjasama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberantasan kemiskinan (bbc.com, 18-12-2019).

Mengingat tengah kuat-kuatnya Cina dalam memegang kendali perdagangan dunia dewasa ini, sepertinya, kondisi negara islam lain di dunia juga tak jauh berbeda dari indonesia. Tengok saja, KTT Islam di Kuala Lumpur beberapa hari lalu yang mencoba mengangkat isu Uighur saja, hanya dihadiri empat kepala negara dari 57 negara yang diundang. Yakni, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad, Presiden Iran Hasan Rouhani, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Selain Indonesia yang tidak mengirimkan perwakilannya pada KTT tersebut, Arab Saudi malah mengecam pertemuan tersebut karena dilakukan bukan di bawah bendera Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang berbasis di Jeddah.

Lantas, jika demikian, siapa lagi saudara muslim yang akan membela Uighur?

Kita semua! Kita, sebagai individu muslim! Dengan do'a dan terus menyuarakan penindasan atas mereka. Mari kita bela muslim Uighur sesuai porsi dan kapasitas yang kita punya, tanpa perlu menunggu organisasi atau negara yang kadung memandang konflik ini sebagai sesuatu yang pelik. Wallahualam....

"Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR. Muslim)

Bandung, 23-12-2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya