Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2020

Menyisir Potensi Agrowisata Sumedang dari Paseh, Congeang, sampai Buahdua

Gambar
Kios-kios atau warung buah-buahan di depan gerbang Pemandian Cileungsing, Buahdua. (dok.pribadi) Jika Anda merindukan hamparan alam yang masih asri, indah, dan menyejukan, maka bertandanglah ke Sumedang. Lekat dengan nuansa pedesaan, daerah yang dinaungi Gunung Tampomas ini dijamin mampu memanjakan mata Anda dengan pesona alamnya yang begitu luar biasa. Air yang mengalir jernih, rimbun pohon yang menyejukan, dan hampar pesawahan berundak mengikuti kontur tanah yang berbukit, bisa Anda dapati di hampir setiap sudut Kabupaten Sumedang. Namun, akan butuh waktu tak sebentar jika kita ingin menjelajahi semua tempat di Wewengkon 1  Sumedang ini. Karenanya, di kesempatan kali ini, jalan-jalannya kita batasi hanya di Kawasan Paseh, Congeang, dan Buahdua. Kok? Kenapa hanya tiga daerah ini? Karena secara geografis, ketiga daerah setingkat kecamatan ini berada di satu jalur yang runut dan memudahkan kita untuk menyusurinya. Itu yang pertama. Alasan lainnya, ketiga daerah ini merupaka

Alasan Kenapa Tanah Kavling Lebih Mahal dari Tanah Lahan

Gambar
Ilustrasi tanah kosong. (dok. pribadi) Di masa awal-awal menjalani tugas sebagai penilai properti, saya pernah terkejut mendapati sebuah perbedaan mencolok antara harga jual tanah kavling dan nilai tagihannya pada lembar PBB. Oleh pengembang, kavling tersebut dijual dengan harga 1,5 juta rupiah / meter persegi sedang pada lembar tagihan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) hanya bernilai 30 ribu rupiah / meter persegi. Jomplang gila, kan! Pengembang yang serakah, apa pemerintah yang tak paham nilai pasar setempat? Jika kita tak paham duduk persoalannya, tentu, tanya seperti itu sangatlah wajar terlontar. Namun, meraba diri sebagai seorang yang tak paham, sebaiknya kita mencari rasionalisasi dari perbedaan harga tersebut alih-alih protes tanpa alasan ilmiah yang malah bisa bikin kita malu. Berbagi sedikit pemahaman, di sini saya akan mencoba memaparkan alasan yang saya harap dapat menjadi rasionalisasi dari perbedaan harga di atas. Tapi sebelumnya, saya infokan, nilai yang

Konflik Uighur, Pelik di Mata Saudara Sendiri

Gambar
Muslim Uighur berdemontrasi dengan membawa foto Mesut Oezil. Ciutan Oezil tentang Uighur sempat viral dan membuat gerah Cina. (Gambar: swaranesia.com) Oleh: Andris Susanto Sebagai seorang yang superior dalam rumah tangga, seorang suami sangat mungkin melakukan pressure, intimidasi, bahkan kekerasan, terhadap pihak-pihak inferior di lingkungannya. Sebuah kejadian semisal beberapa waktu lalu sempat terjadi tak jauh dari tempat saya tinggal. Dinilai berpotensi menimbulkan korban di luar konteks kewajaran berumah tangga, para tetangga yang mengetahui hal tersebut memutuskan untuk masuk ke wilayah perselisihan dan alhamdulillah, berhasil menghentikannya. Dalam konteks bermasyarakat, gambaran perselisihan rumah tangga di atas, tentu, masuk ke dalam ranah privat sebuah keluarga. Namun, saat perselisihan berkembang ke arah yang membahayakan dan tak lagi wajar, sikap pihak-pihak di luar lingkaran yang memutuskan masuk ke dalam konflik internal sudah menjadi sebuah keharusan karena

Menunai Janji (Cerpen)

Gambar
(Dok.Pribadi) Memandang taman tol dari balik jendela bus selalu memberiku kesenangan tersendiri. Ada tenang yang dihantar hampar hijau rerumputan; ada harap, ratap rindu kan tergenap sesampainya aku di tempat tujuan--kampung halamanku. Tapi itu versiku. Aku tak tahu apa yang ada di benak perempuan di sebelahku. Apakah akan sama atau tidak? Biarlah. Sedari tadi perempuan yang tak lain adalah istriku itu hanya terduduk di jok bus yang kami tumpangi. Dia belum bercakap apapun selain mengingatkan Asad, anak kami, untuk menghabiskan sarapannya. "Makasih ya, udah mau ikut," ucapku kepadanya guna memecah keheningan. "Iya, masa aku biarkan Aa pergi sendiri. Aku juga sayang sama Bibi!" jawabnya pelan sambil tersenyum. "Syukurlah!" lirihku dalam hati. Tak peduli apa itu senyum tulus atau bukan, paling tidak, pengakuan tersebut membuat perasaan tak enak di hatiku sedikit berkurang. Sebelumnya, kepergian kami ke Cianjur memang harus melalui pro

Ketawa Karir

Gambar
Ahmad Adhiatma Azhar, my little cute boy (my own doc.) "Hahaha...." Seolah merespon kicau muray di depannya, sambil menutup mulut dengan sebelah tangannya, bayi yang baru bisa belajar jalan itu tertawa. Cukup keras untuk ukuran usianya. "Ah, Si Adhi mah seurina maksa (tertawanya maksa)," sahut Pa Ajat, tetanggaku yang tak lain adalah pemilik burung tersebut. Kami berdua pun tertawa melihat tingkah balita tersebut. Adhia, putra ke dua-ku memang kerap kali melepas tawa seperti itu. Kita bisa saja melihatnya biasa sebagai polah lucu anak-anak seusianya. Tapi tidak dengan istriku. Dia menyebut tawa bocah itu sebagai tawa karir. Duh... lebay amat sih ibumu, Nak! Hahaha. Aku sendiri awalnya tidak begitu peduli. Tapi, melihat sikap Adhia yang sering melihat respon orang terlebih dahulu sebelum dia bereaksi, sepertinya, anak ini memang senang memanipulasi situasi. Masyaallah ya, anak satu setengah tahun saja sudah belajar berdiplomasi! Wkkk... bapaknya iku