Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Kedewasaan Tidak Ditentukan Usia

Gambar
Sesaat lagi, kita akan menjalani pergantian tahun; dan meski secara pasti serta tepatnya ganti tahun tidak otomatis membuat kita bertambah usia--dalam hitungan tahun, kecuali mereka yang lahir tanggal 1 januari--tetap saja, orang-orang pada umumnya, lebih mudah menghitung usia manusia dengan hitungan tahun. Lahir tahun 2000 di 2021 berarti udah 21 tahun, ya! 1995 berarti 26 tahun, terus.... Wooyy! Tiba-tiba ada yang protes, Gua lahir bulan desember, Woy! Hehe... kasian yang lahir akhir tahun, ya? Ya sudah, biarkan saja! Anggap saja ganti tahun, memang ganti usia, kabar baiknya, hal itu tak ada hubungannya dengan kedewasaan atau kematangan. Qoute yang cukup populer dari seorang novelis bernama Lawana Blackwell berbunyi, "Age is not guarantee of maturity." Usia bukan jaminan dari kedewasaan. Eh, apa malah kabar buruk, ya? Apapun artinya bagi kamu, saya sangat setuju dengan ungkapan tersebut, dan sangat mudah untuk kita mendapati bukti kesesuaian antara ungkapan tersebut dengan

Filsafat Waktu, Tiga Puncak Keutamaan Hidup

Gambar
Clock, pixabay.com Sebagaimana sempat saya singgung di tulisan sebelumnya, sepertinya menarik jika saya mengulas kajian-kajian Dr. Fahruddin Faiz dalam bentuk tulisan-tulisan kecil. Sedikit jeda dari pencetusan ide tersebut--tulisan sebelumnya diposting 18 Desember lalu--bismillah, di sini saya coba merealisasikan niat tersebut melalui tulisan tentang filsafat waktu. Bagi saya pribadi, tema tentang waktu sangat menampar wajah sendiri yang biasa menjalani hidup dengan sekenanya saja; tidak ambisius, tanpa memaksakan diri, atau bahayanya: gaya hidup yang saya pakai selama ini mungkin hanya alibi dari terlalu seringnya diri ini dipecundangi malas.  Semoga saja kawan-kawan memiliki kesan lain terhadap makhluk yang bernama waktu ini. Baiklah, kita mulai saja uraiannya. Sebagaimana kita tahu, waktu adalah harta paling berharga yang tak pernah bisa ditukar dengan apapun yang mungkin kita miliki di dunia ini. Hanya dengan waktu kita punya kesempatan, paling tidak, untuk menggoreskan nama di du

Aku Bertanya Maka Aku Ada

Gambar
"Aku Bertanya Maka Aku Ada", dok. pribadi Pada sebuah acara kemahasiswaan yang dihelat di lingkungan gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, PKM, UPI sekitar 16 tahun lalu, qadarullah saya mendapati buku yang seperti terlihat di foto ini. Unik, itu yang terlintas di benak saya saat memutuskan untuk membeli buku tersebut. Aku Bertanya Maka Aku Ada. Sekilas, minilik judul yang tertulis di cover, sepertinya buku ini bakal mengajak kita untuk berpikir lebih. Mmmh... cocoklah buat obat tidur. Ok, ambil! Ya, seperti itu saja alasan saya membelinya. Karena apa istimewanya? Saat itu saya tidak mengantongi alasan-alasan lain untuk bisa menyebut buku ini luar biasa. Tipis, ditulis oleh orang yang tak sekalipun namanya saya dengar sebelumnya, plus saya pun tak yakin paham buku tersebut isinya tentang apa. Meski dari judul tadi sangat berbau filsafat, kala itu saya tak pernah berpikir bahwa buku tersebut merupakan pengantar untuk kita mengenal dunia filsafat; Karena dalam frame yang saya miliki

Dah Males Buat Takut

Gambar
kkp.go.id Sudah sekitar sembilan bulan kita dihantui penyebaran corona. Keluar rumah takut, ketemu orang takut, sampe nerima kiriman saja was-was minta ampun. Semprot, jemur, rendem, bahkan dibalikin karena salah tujuan. Perasaan takut dalam menghadapi situasi pandemi jelas bukan hal yang tepat. Ketakutan malah membuat kita riskan dalam bersikap, karena takut kita bisa salah dalam bertindak. Orang yang tiba-tiba pingsan di jalan bukannya ditolong malah dijauhi, orang lebih mengutamakan masker daripada helm saat bermotor, orang disiplin jaga jarak di mesjid tapi jaga stok di super market. Ya... akhir-akhir ini banyak hal yang kadang kita jadi tak habis pikir. Eh, tapi bagus berarti, ya? Yang gawat itu justru kalo pikirnya habis. So, kesimpulan pertama, kita jangan pernah takut. Syukurnya, orang-orang bilang, masyarakat kini sudah males buat takut. Ya bagus, lah! Emang kita tak boleh takut, kok! Dalam menghadapi wabah covid 19 ini kita jangan sekali-sekali takut, yang ada harus tetap was

Omnibus Law? Bedah Santai RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Gambar
Bukan berita baru sebenarnya, saya sudah dengar soal omnibus law dari beberapa bulan yang lalu. Antara antusias dan tidak saya menanggapi isu penggabungan 79 UU yang terdiri dari 1.200 pasal lebih tersebut. Lah, bagaimana bisa, atau bagaimana beres segera, terlebih di saat pandemi melanda. Tapi ternyata, sangka saya salah. Kaget! Di saat saya sedang santai-santainya menikmati dalam menyimak hal lain, tetiba dapat kabar   5 oktober 2020 kemarin DPR telah mengesahkan RUU tersebut;  dan demonstrasi pun pecah. Gubrak! Padahal, kemarin saya lagi menyimak sejarah PKI dan kejadian G 30 S dari berbagai versi, loh! Termasuk berangnya Ibu Mega atas tuduhan para oknum yang menyebut dirinya, partainya, juga Pak Jokowi sebagai PKI atau komunis. Ada benang merahnya juga dengan omnibus law sih, sebenarnya !  --Mulai menandakan gejala sotoy. Iya, dong! Paling tidak, dengan gelagat sinerginya pemerintah yang di pimpin P residen Joko W i dodo bersama DPR dalam mengurusi UU ini, saya menemukan

Tetang Cinta, Kasih Sayang, dan Utuhnya Sebuah Hubungan

Gambar
pixabay.com Seseorang sempat berseloroh tentang kehidupan rumah tangganya, di mana dia, sebagai suami, menegaskan kepada istrinya bahwa jika ada apa-apa dengan pernikahan mereka, dia akan memilih anak. "Ngeri!" begitu saja timpal saya. "Lah, ya iyalah, Mang! Rasional! Anak kan darah daging kita!" protesnya dengan berapi-api mirip orator yang menyampaikan gagasannya di depan massa demi menanggapi respon saya tadi. Ok... cukup rasional. Dalam konteks masa depan anak, jelas, prioritas mesti diletakan kepada pihak yang umumnya menjadi korban dalam keretakan sebuah hubungan pernikahan. Namun, menilik pada spirit dasar dari hubungan itu sendiri, pernyataan tadi seolah mengisyaratkan rapuhnya pondasi yang terbangun dalam sebuah konstruksi berhubungan. Lebay? Tidak juga, menurut saya. Mari kita tengok contoh situasi lain sebagai perbandingan! Tiga tahun lalu, qadarullah, tetangga sekaligus teman mancing saya di setiap akhir pekan mengalami penyumbatan pembuluh dar

Don't Judge a Book by Its Cover, Belajar dari Sisi Lain Jose Mourinho

Gambar
Jose Mourinho, liputan6.com Sebuah pepatah mengatakan jangan menghakimi atau menilai buku dari sampulnya, don't judge a book by its cover ; semua orang pasti paham maksudnya. Tapi pepatah tinggal pepatah, sekali sempat kita dipertemukan dengan orang yang penampilan atau tampangnya membuat kita tak nyaman, kadang kita otomatis tak menyukai atau berpandangan negatif terhadap orang tersebut. Dilarang? Tentu saja tidak. Penilaan Anda terhadap seseorang adalah hak prerogatif Anda. Karenanya, sangat baik jika hal itu bukan buah dari interupsi atau arahan orang lain. Namun, ada baiknya juga jika Anda membiasakan untuk menahan diri saat berniat untuk menyematkan penilaian bernada negatif terhadap seseorang. Takutnya, ternyata orang tersebut malah sosok yang akan berpengaruh besar pada kehidupan Anda; atau paling tidak, orang yang kemudian bakal banyak berinteraksi dengan Anda--atasan atau partner hebat Anda. Akan rumit jika dari awal kita sudah tak suka. Salah satu gambaran dari

Tips Menulis, Cara Mudah Menulis Cerpen (Bagian 1)

Gambar
Gambar, pixabay plus editing Nulis cerpen aja kok harus pake tips? Ok, bagi kamu yang sudah terbiasa menulis cerpen--terlebih novel--mungkin terlalu berlebihan jika untuk menulis cerita pendek saja diperlukan tips, petunjuk, atau arahan. Kecuali untuk membuat cerpen yang baik, atau bahkan yang laik muat di media, ya? Nah, kalo itu... meski kamu sudah biasa menulis, belum tentu hasilnya baik dan laik muat di media, kan? Hehe... maaf. Saya maksudnya, bukan kamu. Peace! Lagian, di sini saya cuma mau ngasih tips menulis cerpen, kok! Bukan menulis cerpen yang bagus, menarik, apalagi laik muat di media. Yang penting, awalnya berani nulis saja dulu! Perkara tulisannya berkembang menjadi bagus atau apa, biarlah waktu yang menjawab. Kenapa? Karena di masa digital sekarang ini banyak hal misterius bisa terjadi, loh! Keluar dari prediksi, dan kadang, standarisasi tak lagi menjadi kata kunci dari keberhasilan seseorang. Kok, serius amat, yah? Sempet baca "KKN di Desa Pelangi"?

Memori 90an, Hanson, Band Remaja dengan Lagu Dewasa

Gambar
Hanson (mamamia.com.au) "Poster apa yang menempel di dinding kamarmu?" Kurang lebih begitu tanya yang kubaca di salah satu timeline media sosial. Poster? Masih ada yang jualan poster gitu? Akan sangat sulit dicari deh, kayaknya. Postingannya sendiri ternyata soal pernak-pernik kehidupan di era 90 an. Ya iyalah, waktu itu memang jamannya anak muda pasang poster di kamar sebagai salah satu aktualisasi mereka terhadap apa atau siapa yang idolainya. Jawaban dalam postingan itu sendiri, "Rambo". Wow! Dulu keren itu berotot, kekar, dan jago berantem. Beda ya sama sekarang yang diidolakan justru cowok kemayu, kerempeng, mulus, dan cantik bak cewek abis dioplas. Hahaha.... Tapi, yang buat aku mesem-mesem sendiri bukan soal berotot sama kemayu sih, cuma salting aja pas inget bahwa yang kupasang adalah posternya Hanson. Hahaha... Ada yang tahu? Ya, kalo ada yang sempat ngikutin perkembangan musik di era akhir 90an, pasti kenal dengan band yang digawangi oleh Hanson

Naluri Seorang Ibu

Gambar
Gambar: pixabay.com Jika beberapa hari lalu ramai diberitakan tentang seorang ibu yang menganiaya anaknya yang masih bayi; pastilah ada masalah besar yang melatari kejadian semisal itu. Karena secara naluriah, takkan ada ibu yang tega menyakiti buah hatinya. Toh, dia bisa dipanggil ibu pun karena sudah beranak, kan? Anak manusia, ya! Bukan "darma wanita" atau "arisan". Lebih dari sekadar tidak menyakiti. Fitrah seorang ibu adalah mencintai, menyayangi, mengasihani, dan rela berkorban atau selalu mengutamakan kebutuhan anak-anaknya. Buat yang terakhir, kemarin saya saksikan sendiri buktinya. Di hari yang tengah ada pada puncak teriknya, melalui sudut mata, kutangkap sosok Wati tengah berjalan sedikit tergesa dengan makanan yang dibawanya. Apa yang dia pikirkan? saya tak paham. Dia tak menuliskannya di status wa atau fb. Bahkan, saat kutanya, "Dari mana, Mak?" Dia melengos. Sial, sombong sekali dia! Tapi, tak bisa dihindar, aku penasaran. Mataku

Kopi, Covid, dan Lokalisasi

Gambar
Ngopi. (dok. Pribadi) Setelah libur Idul Adha yang memepet ke akhir pekan, di bulan agustus beruntun juga tanggal-tanggal merah yang hadir menyertai libur reguler; sabtu dan minggu. Tentu saja, bagi sebagian orang hal tersebut menjadi momen yang sayang jika tidak dimanfaatkan untuk sejenak lepas dari rutinitas keseharian yang menjenuhkan. Riuh tagline pandemi pun perlahan mulai tak terlalu dipusingkan. Semua seolah sejalan. Hasrat masyarakat yang sekian lama tertahan, diamini oleh semakin melempemnya himbauan "di rumah saja" yang kini tergeser oleh slogan "terapkan prorokol kesehatan" sebagai warning dari penyebaran corona yang masih juga belum selesai. Kini, tak ada lagi satgas yang keliling wilayah untuk membubarkan kerumunan, penutupan jalan, atau cek point di setiap perbatasan wilayah. Disengaja atau tidak, pelonggaran aturan terkait pencegahan wabah pada waktunya ternyata terjadi juga tanpa perlu menunggu kurva melandai, tanpa harus dikomandoi pemerin

Belajar dari Kebiasaan Anak Bermain di Rumah Temannya Ala Jerman

Gambar
foto: pixabay.com Sering saya terkagum dengan tingkah Si Sulung; salah satunya, dalam urusan dia bermain ke rumah temannya. Hal ini menjadi menarik karena masih tak seragamnya pemikiran orang tua dalam menyikapi anak-anaknya saat mereka bermain ke rumah temannya, atau sebaliknya. Temannya yang bermain di rumah kita. Misal, pernah saya sampai terbengong saat anak pertama saya tiba-tiba masuk rumah mencari ibunya--sebelumnya dia sedang bermain sepeda di luar--dan bilang, "Bu, aku mau main sama Si A, ya?" Aku yang mendengarnya merasa sedikit aneh. Pan dari tadi juga dia lagi main di luar rumah? Ya sok saja da judulnya juga masih sama, main. Heran.... "Iya... sok aja!" Ibunya menjawab dari dalam kamar. Dia tak lantas pergi. Saya yang lagi duduk di ruang tengah meliriknya sambil tersenyum sebagai isyarat mempersilahkan. Tapi dia masih belum beranjak untuk kemudian kembali bertanya, "Sampai jam berapa, Bu?" "Mmh... Jam lima saja!" S

Terawan - Nadiem, Dua Menteri Viral yang Membingungkan

Gambar
dr. Terawan dan Nadiem (foto: Tribun Kaltim) Tak ada keputusan yang memuaskan semua pihak. Layaknya kisah Luqmanul Hakim dengan keledainya, pendapat negatif terhadap sebuah permasalahan selalu muncul sejurus seseorang menilai dari sudut pandang mana dia melihat. Beberapa waktu lalu, setelah Bapak Presiden mengumumkan menteri-menterinya dalam kabinet indonesia maju, ada satu lintasan tanya yang muncul di benak saya saat mendapati dua nama muncul, dr. Terawan dan Nadiem Makarim, masuk dalam deretan 34 menteri dalam kabinet tersebut. "Apa bukan karena sempat viral saja dua orang ini terpilih?" Terawan yang jagoan Pada perjalanannya, kebijakan tersebut menemui ujian yang seolah meng-amin-kan, tanya saya tadi. Di awal pandemi covid-19 muncul di tanah air, Terawan sebagai Menteri Kesehatan dengan gaya jagoan, menganggap remeh dengan menyatakan virus corona atau covid-19 tak lebih berbahaya dengan flu biasa. Ternyata... dari perkembangan yang selalu di update media, virus ini terus